Disclaimer: Semua karakter dalam Harry Potter adalah milik JK Rowling. Bukan untuk kepentingan komersial. Fanfic ini hanya hiburan semata.
Rated: T - B.Indonesia - Drama atau Family
Awal/akhir cerita oleh: Hinata
Kontributor: Aisyah, Astrin, Anne, Maddy, W.m. Ibrahim, Winda, Rury
Tubuh wanita itu ambruk seperti sebuah boneka kayu yang dipotong talinya. Mata hijaunya kini kehilangan binar kehidupan. Mukanya menegadah menatap langit-langit dengan kehampaan. Suaminya mati duluan. Kini Lily Potter pergi menuju ketiadaan.
Seharusnya aku merasa puas seperti momen-momen membahagiakan lain saat melihat kematian. Kematian yang diakibatkan oleh diriku! Namun tidak, alih-alih merasa damai hatiku malah terbebani oleh sensasi asing yang menekan.
Ini pasti gara-gara anaknya belum mati. Mereka bertiga mati, dan tentunya perasaan girang ini akan kembali.
“Avada Kedavra!” lembut tongkatku bergetar hendak menghantarkan melodi kematian pada si Bocah. Semuanya seakan diperlambat ribuan kali untuk menambah kesan mencekam yang kurindukan.
Cahaya hijau menyentuh tubuh mungilnya. Dia akan mati. Aku tahu akan mati. Sama seperti ribuan orang lain yang pernah mencicipi mantera favoritku.
Perasaan menekan makin bertambah hebat. Sulur merah muda melingkupi tubuh si Bocah. Cahaya hijau berpadu dengannya.
DUAR!!
Ledakan hebat terjadi diikuti dengan cahaya hijau yang membutakanku.
Tidak! Ini tak seharusnya terjadi!
Pangeran Kegelapan tak seharusnya merasa takut. Selayaknya dia menebar rasa takut. Bukan malah mencicipinya.
Ini tak nyata. Aku yakin takkan pernah nyata. Kulihat tubuhku menjauh dari pandangan. Atau malah pandanganku yang menjauh dari tubuh?
Entahlah.
Yang pasti, aku berani bersumpah bahwa mulut Lily tersenyum.
Kini aku melayang entah kemana.
Lily “Evans” Potter, sihir apa yang telah kau pelajari dan luput untuk kuketahui?
[ ::Hinata:: ]
Rated: T - B.Indonesia - Drama atau Family
Awal/akhir cerita oleh: Hinata
Kontributor: Aisyah, Astrin, Anne, Maddy, W.m. Ibrahim, Winda, Rury
Tubuh wanita itu ambruk seperti sebuah boneka kayu yang dipotong talinya. Mata hijaunya kini kehilangan binar kehidupan. Mukanya menegadah menatap langit-langit dengan kehampaan. Suaminya mati duluan. Kini Lily Potter pergi menuju ketiadaan.
Seharusnya aku merasa puas seperti momen-momen membahagiakan lain saat melihat kematian. Kematian yang diakibatkan oleh diriku! Namun tidak, alih-alih merasa damai hatiku malah terbebani oleh sensasi asing yang menekan.
Ini pasti gara-gara anaknya belum mati. Mereka bertiga mati, dan tentunya perasaan girang ini akan kembali.
“Avada Kedavra!” lembut tongkatku bergetar hendak menghantarkan melodi kematian pada si Bocah. Semuanya seakan diperlambat ribuan kali untuk menambah kesan mencekam yang kurindukan.
Cahaya hijau menyentuh tubuh mungilnya. Dia akan mati. Aku tahu akan mati. Sama seperti ribuan orang lain yang pernah mencicipi mantera favoritku.
Perasaan menekan makin bertambah hebat. Sulur merah muda melingkupi tubuh si Bocah. Cahaya hijau berpadu dengannya.
DUAR!!
Ledakan hebat terjadi diikuti dengan cahaya hijau yang membutakanku.
Tidak! Ini tak seharusnya terjadi!
Pangeran Kegelapan tak seharusnya merasa takut. Selayaknya dia menebar rasa takut. Bukan malah mencicipinya.
Ini tak nyata. Aku yakin takkan pernah nyata. Kulihat tubuhku menjauh dari pandangan. Atau malah pandanganku yang menjauh dari tubuh?
Entahlah.
Yang pasti, aku berani bersumpah bahwa mulut Lily tersenyum.
Kini aku melayang entah kemana.
Lily “Evans” Potter, sihir apa yang telah kau pelajari dan luput untuk kuketahui?
[ ::Hinata:: ]
Cahaya hijau itu sudah tampak. Kakiku berhenti melangkah, bahkan serasa tak mampu menapak. Aku terlambat! Lily sudah pergi. Ingin aku juga menyusulnya segera.
Namun, tunggu dulu. Cahaya merah apa itu? Mengapa ada cahaya selanjutnya? Terdengar teriakan, teriakan itu bukan teriakan Lily, itu teriakan seseorang yang sesaat lalu masih kuanggap sebagai tuan. Ah, berarti Lily masih hidup? Apakah ia berhasil menghindar dari kutukan mematikan itu dan kembali melawan?
Kucoba melangkahkan kaki berjalan ke depan, mencoba mengais harapan. Semoga ia masih bertahan. Lily, aku akan menemuimu, tunggulah dulu. Sekali ini saja, kumohon...
Sulit sebetulnya melangkahkan kaki ini, tapi sedikit asa akan kehidupanmu, mampu membuatku maju. Pagar yang terlempar keluar akibat ledakan dari rumahmu berhasil kulewati, dinding rumahmu pun hancur berantakan. Potter sudah tergeletak tak bernyawa. Tak sedikitpun aku kasihan padanya. Salah ia sendiri mempercayai orang yang salah. Kesalahannya pula jika kau ikut mati, Lily. TIDAK!!! Kau tak boleh mati!
Keadaan begitu hening merasuki jiwaku. Aku takut, aku sangat cemas. Bersuaralah Lily, tunjukkan bahwa kau masih hidup!
Puing-puing ini menghalangi jalanku. Tubuhku semakin kaku untuk digerakkan. Tapi aku harus terus maju, menghampirimu, menemukanmu.
Ti.. ti.. TI DAAAAK!!!!! Kau... kau hanya pingsan kan Lily? Lily.. Lily, Bangunlah! Tataplah aku..
Kugoncangkan tubuhmu, namun kau tak juga bergerak, tubuhmu mendingin, tak ada lagi denyut dari nadimu. Kupeluk erat tubuhmu. Tak mau lagi kulepaskan. Lily... Maafkan aku...
[::Aisyah::]
Hiks. Aku haus. Mum, aku lapar. Hiks.
Aku terus menangis, Mum seharusnya mendengarku. Biasanya ia selalu tahu kalau aku menangis.Tadi dia disini bersamaku dan seseorang berjubah hitam menakutkan. Aku ingat tadi Mum berteriak kepada orang itu. Mum berdiri membelakangiku. Aku haus, Mum, dan lapar. Hiks. Mum, kau mendengarku kan?
Aku benci saat harus terbangun malam-malam karena terkejut. Ada suara berisik tadi dibawah. Dan suara Dad berteriak. Dan aku menangis kencang karena terbangun tiba-tiba. Mum menghampiriku dengan terburu-buru, lalu mendekapku kedalam pelukan hangatnya dan bernyanyi untuk menenangkanku. Suara dibawah mulai mereda. Aku pun mulai berhenti menangis, dan kini mengantuk kembali. Tetapi aku merasakan tubuh Mum menegang, pelukannya kaku. Aku tak tahu kenapa.
Mum meletakkanku kembali ke dalam tempat tidurku. Aku baru akan tidur saat seseorang berjubah hitam menyeramkan memasuki kamarku, dan aku mendengar Mum berbicara padanya, entah apa. Suara orang itu begitu kasar dan jahat, aku ketakutan dan kembali menangis.
Aku menangis semakin kencang, tetapi Mum tidak menggubrisku. Hiks. Mum membelakangiku untuk menghadapi orang jahat itu. Aku mendengar Mum menangis dalam suaranya. Hiks. Mum, aku haus. Aku ingin Mum sekarang.
Sesaat yang lalu aku melihat jubah hitam menyeramkan itu. Aku takut. Aku menangis semakin kencang lagi. Hiks. Orang itu jahat!
Lalu kilatan cahaya hijau menerangi sekitarku hingga aku berhenti menangis sejenak.
Sekarang semua sepi. Aku melihat Mum tertidur di lantai. Mum, aku lapar, dan haus. Mum, bangun!
Aku kembali menangis untuk mendapatkan perhatian Mum. Hiks. Tidak ada jawaban.
Hiks. Aku menangis semakin kencang. Tapi tetap saja Mum tidak bangun. HIks.
Aku terus menangis. Dad juga tak kunjung datang. Hiks. Kini aku benar-benar haus dan lapar.
Ada seseorang berjubah hitam lain yang tak aku kenal memasuki kamarku. Orang itu melirik padaku. Hiks. Aku mencoba menangis semakin kencang agar orang itu memperhatikanku. Tetapi ia melewatiku dan menghampiri Mum yang sedang tidur. Hiks. Orang itu memeluk Mum dan menangis.
Lalu yang aku tahu aku hanya melihat sepintas wajahnya dan rambut hitamnya. Sebuah tongkat kayu ia arahkan kepadaku. Kemudian aku berhenti menangis dan tertidur.
[ :: astrin :: ]
Aku tiba di Godric's Hollow. Banyak Muggle di sana. Terpaksa aku gunakan mantra Obliviate ke mereka.
Rumah keluarga Potter terlihat hancur, dan asap hitam mengepul di ruang bagian atas. Aku belum melihat ada Garis Auror terlihat mengelilingi rumah itu. Tapi pasti tak lama lagi akan banyak orang dari Kementrian Sihir ikut menyelidiki TKP ini.
Aku harus bergerak cepat. Anak itu harus diselamatkan. Sungguh keji apa yang dilakukan oleh Dia-Yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebut. Lily Potter anak yang manis. Murid Gryffindor yang cerdas. Sungguh tragis nasibnya.
'Harry! Harry! Oh malangnya! Cup cup cup, sayang, Paman ada di sini. Sekarang kita jalan-jalan 'dikit ya...'
Sambil mencari selimut bayi yang mungil, aku harus mengingat lagi pesan dan peta yang diberikan Prof.Dumbledore di perkamennya. Aku bertugas membawa Harry bayi di atas motor Sirius, tadi dari rumah aku sempat membawa keranjang untuk telur naga, tidak terlalu mewah, tapi yang penting sudah kubersihkan dari kotoran.
Untunglah McGonnagal yang mengingatkanku dan Dumbledore bahwa Lily masih punya keluarga dekat yang menikah dengan seorang muggle. Aku agak sedikit lupa mereka, terakhir bertemu saat pernikahan Lily dengan James Potter beberapa tahun yang lalu.
Motor besar milik Sirius berbunyi nyaring. Untunglah tak ada Muggle yang memperhatikan karena kuparkir di tempat tersembunyi. Kini aku dan Harry terbang ke atas langit. Malam terlihat lebih berbintang kala mata berkaca-kaca.
James, Lily, bayi kalian aman. Beristirahatlah dengan tenang.
[:: Anne :: ]
Hampa. Hanya Vernon berjalan hilir-mudik di ruang tamu sambil mengomel tanpa henti. Untunglah Dudley tertidur dengan tenang di kamarnya. Tidak terganggu. Di depanku, sebuah keranjang berisi anak bayi laki-laki tertidur pulas. Kutemukan pagi ini di depan pintu
“Surat apa ini?! Omong kosong! Bagaimana mereka bisa tahu keberadaan kita?” omel Vernon sambil meletakkan surat di atas meja. Aku hanya bisa terdiam. Lily???
Kutahan tangisanku. Vernon tidak boleh tahu bahwa diam-diam aku masih memikirkan adikku yang aneh itu. “Coba kau lihat, Petunia! Mereka bilang adikmu dan suaminya mati. Kenapa tidak ada di berita pagi ini?” kata Vernon.
“Kau tahu kumpulan mereka. Mana mungkin bisa masuk berita di TV?” jawabku, berusaha menenangkan diri. Vernon menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kau urus bayi ini. Aku terlambat ke rapat penting,” kata Vernon sambil berjalan ke arah pintu. Aku mendengar Vernon membuka dan membanting pintu dengan keras. Aku memejamkan mata sebentar.
Bunyi pintu membangunkan bayi laki-laki di keranjang. Reflek aku berlari menghampiri bayi tersebut. Kugendong bayi itu dan berusaha menenangkannya. “Jangan menangis, Harry. Bibi di sini,” kataku sambil menepuk lembut. Tangisan Harry mulai mereda.
Kuambil surat yang tadi dibaca Vernon. Surat dari seseorang bernama Albus Dumbledore yang mengabarkan kematian James dan Lily Potter. Surat itu juga meminta aku dan Vernon untuk merawat Harry Potter, anak mereka. Keponakanku satu-satunya.
Setelah membaca surat itu, kupandangi bayi Harry. Tanpa sadar, air mataku mulai menetes. “Harry, kau memiliki mata Lily,” isakku. Bayi Harry balas memandangku, membuatku tidak bisa membendung air mata lagi. Sambil memeluk bayi Harry, aku hanya bisa berbisik, “Lily. Kenapa bisa begini?”
Aku tak tahu sudah berapa lama aku menangis. Kuhapus air mataku dan memandangi bayi Harry. “Kau tahu, aku tidak akan membiarkanmu menjadi bagian kelompok orang tuamu. Kau harus jadi orang normal. Aku pastikan kau tidak menjadi bagian dari mereka. Aku janji,” kataku sambil memeluk Harry.
Kulirik jam dinding di ruang tamu. Vernon belum tiba di kantor. Aku akan menelepon Vernon dan mengatakan keputusannya. Ketika Vernon pulang, kami akan membicarakan rencana untuk bayi Harry.
Kuletakkan Harry kembali di keranjangnya dan bergegas ke dapur, menyiapkan makanan untuk Dudley. Tidak lupa, kuselipkan foto aku dan Lily ketika kami masih kecil. Setidaknya, hanya itu yang bisa kulakukan untuk Lily.
[:: Maddy :: ]
Hari ini benar-benar penuh duka, sepasang penyihir yang baru beberapa tahun lalu kurawat dan kujaga telah pergi. Sepasang penyihir yang merupakan pernah menjadi tanggung jawabku, dan baru saja kulepaskan dari tanggung jawab malah menjadi bencana. James Potter dan Lily Evans Potter, dua Gryffindor ini baru saja menikah dan memiliki anak, dan seharusnya mereka dapat lebih menikmatinya lebih lama.
Waktu terasa begitu cepat, bahkan aku masih bisa merasakan perayaan pernikahan mereka seperti kemarin. Nyatanya, waktu tidak berpihak pada mereka. Setelah satu tahun mereka memiliki seorang putra, Pangeran Kegelapan sudah mengacaukan semuanya. Dia-Yang-Namanya-Tidak-Boleh-Disebut telah membunuh keduanya, James dan Lily.
Sulit bagiku mendengar kabar ini, oh… kenapa semua ini bisa terjadi. Terlebih lagi untuk Lily, terakhir yang kuingat, ia adalah penyihir kecil yang pintar dan berbakat, sempat menjadi murid kesayangan Profesor Slughorn. Sulit dipercaya, sangat sulit dipercaya…
Kabar penyerangan ini tersebar begitu cepat, seperti angin yang tak pernah berhenti berhembus. Aku yakin penyihir lain sama syok-nya denganku, terduduk dan hampir kehilangan oksigen ketika mendengar penyerangan itu pertama kali. Dalam beberapa menit itu juga aku tak dapat berpikir, hanya dapat membayangkan beberapa kenangan terakhir yang masih dapat diingat darinya.
Mendengar ada hal yang tidak biasa, hal yang lebih mengejutkan dari penyerangan itu, aku segera bangkit dari ketidakberdayaan mengingat masa lalu. Aku tidak pernah salah selalu menyebutnya penyihir pintar dan berbakat, itu terbukti dari sisa-sisa penyerangan itu. Seorang bayi yang lemah tak berdaya, seorang bayi yang merupakan anak dari Lily, selamat dan melumpuhkan Pangeran Kegelapan.
Bagaimana bisa bayi itu selamat? Dan menurut kabar, Lily menggunakan mantra kuno yang sangat langka, mantra dimana berhasil melindungi anaknya dari serangan mantra terkutuk paling menakutkan dan bahkan melumpuhkan Pangeran Kegelapan. Sedikit lega mendengarnya, setidaknya duka atas kepergian James dan Lily masih dapat dibalas dengan keselamatan bayi mereka dan kepergian Dia-Yang-Namanya-Tidak-Boleh-Disebut.
[:: W.m. Ibrahim ::]
"Ibu aku--takk-ing" kataku sambil mengacung-acungkan jari gemukku kearah Harry si anak menyebalkan itu.aku belum bisa berbicara banyak, jadi aku hanya bisa mengatakan itu, siapa tahu saja ibu tahu maksud ku."Oh Ickle Dudde ku sayang, Ibu juga tak suka dengan anak itu, tapi bagaimana lagi? Ibu takut tetangga akan ngomong yang ngga-nggak tentang ibu, kau tak mau kan sayang" kata Ibu dengan mencubit keras pipiku.
Aku sebal anak itu ada dirumahku, semenjak kehadirannya jatah porsi makanku berkurang, aku tahu kalau ibu membaginya dengan anak itu.
Ibu masuk ke dapur karena aku meronta-ronta ingin meminum susu, ini sengaja aku lakukan agar aku bisa setidaknya mencubit atau memukul anak ini, yah walaupun aku tahu pukulanku tak begitu keras.
[:: Winda ::]
"SIAL!!" Aku memukul lagi dinding sel dingin Azkaban ini, tak peduli dengan rasa sakit dan beberapa tetes darah yang sudah merasuki buku-buku tanganku.
Aku marah, marah sekali. Dan aku tahu dengan jelas mengapa. Aku melihat sendiri mayat James dan Lily di Godric's Hollow semalam. Aku terlambat. Saat itu aku tahu siapa yang menjadi musuh dalam selimut.
"PETER KURANGAJAR!!" Berani-beraninya dia mengkhianati kami! Sahabatnya! Aku lebih memilih mati dari pada harus mengkhianati sahabatku sendiri!
Satu pukulan lagi aku daratkan ke dinding sel. Deru nafasku tak karuan, antara benci, marah, dan sedih, aku dapat mendengarnya. Aku tak peduli dengan keberadaan dementor di luar selku, mereka seakan tak berani mendekatiku.
Bisa-bisanya dia menjadi mata-mata Voldemort untuk Orde!
Tidak seharusnya James dan Lily mati! Dan semua itu karena kau, Peter!
Aku telah salah mempercayaimu! Kau bukan sahabatku!
"PENGKHIANAAT!!" Sekali lagi aku hempaskan kebencianku pada dinding sel Azkaban, berteriak untuk sedikit mengurangi kemarahan dan kebencianku pada Wormtail. Sebutir air mata tanpa sadar jatuh di tulang pipiku. Rasanya begitu menyesakkan. Nafasku perlahan melambat, hidungku terasa tersumbat sesuatu. Aku menempelkan dahiku ke dinding dan memejamkan mataku, menyesapi semua hal yang terjadi semalam.
Aku marah, benci, kecewa, sedih, dan merasa bersalah disaaat yang bersamaan. Semua perasaan itu menghujatku. Melihat tubuh tak bernyawa James karena pengkhianatan sahabat kami sendiri. Aku senang pada akhirnya Wormtail mati dan tubuhnya hancur. Tetapi 12 muggle juga mati bersamanya. Dia bunuh diri dan menenmpatkanku di penjara terkutuk ini! "Sial!"
Aku merutuki hidupku. Teringat semua kenangan bersama James, Lily, dan Harry di pesta ulangtahnnya yang pertama.
James, maafkan aku. Aku tak bisa menjadi ayah baptis Harry yang baik. Aku malah terperangkap disini dan menelantarkan anakmu bersama saudara muggle Lily. Seharusnya aku yang merawatnya.
Dan Lily. Oh Lily, maafkan aku. Aku telah memisahkanmu dari Harry. Aku telah salah menilai sahabatku, Lily. Aku seharusnya mendengarkanmu bahwa Remus tidak mungkin mengkhianati Orde. Aku tidak percaya kalau baru kemarin pagi kau memarahiku karena Dre Head sebagai hadiah Halloween Harry dariku. Kita bahkan baru beberapa hari yang lalu mengobrol membicarakan keanehan Dumbledore.
Kau begitu baik, Lily. Aku bahagia menjadi pendamping pria di pernikahanmu dan James. Aku tahu James sangat beruntung menikahimu. Dan aku yakin James tidak akan menyesal jatuh cinta kepadamu. Kau layak dicintai, Lily. James adalah pecundang yang beruntung mendapatkanmu. Dan Harry adalah anugerah terindah yang pernah kau berikan pada kami, Lily. Harry, anak baptisku.
Tapi semua sudah hancur. Kau dan James telah pergi. Voldemort telah membunuh kalian. Dan aku telah kehilangan sahabat-sahabat terbaikku.
Seharusnya aku datang lebih awal. Seharusnya aku bisa menyelamatkan kalian. Dan seharusnya aku tidak memberikan kepercayaanku pada Wormtail.
"Wormtail Sialan!!"
Aku memukul dinding lagi. Rasa perih pada buku-buku jariku semakin menyakitkan. Aku baru menyadari udara di sekitar selku menjadi lebih dingin. Tubuhku gemetar, ada rasa takut yang aku rasakan. Dementor sebentar lagi datang menagih jatah makannya. Aku tahu mereka merasakan ada kebahagiaan yang banyak padaku, aku baru saja memikirkannya.
Kali ini ada 2 dementor yang berdiri di depan pintu selku menyambut makanannya. Aku melihat mereka, tubuhku bergetar semakin kencang, ketakutan semakin jelas terasa dimataku. Aku telah putus asa, tak bisa lagi melarikan diri, sel ini sangat sempit. Semua kepedihan semakin nyata dihadapanku, rasa bersalah seakan merobek hatiku. James, Remus, Harry, dan Lily, aku mohon maafkan aku.
Dementor-dementor itu tersenyum menyambutku.
[ :: astrin :: ]
Hari ini seharusnya menjadi hari yang indah. Aku ada tender dengan pemerintah kota London untuk perbaikan saluran di kanal barat kota. Namun bayi sialan itu merusak segalanya. Tender dibatalkan karena aku terlambat datang dan suasana hatiku sangat buruk, ah semakin buruk!
Pagi ini diawali dengan teriakan Petunia ketika membuka pintu untuk mengambil koran pagi. Namun bukan koran pagi yang didapatkannya. Di depan pintu kami terdapat bayi yang sedang tidur nyenyak dan sehelai surat.
Dudley pun terbangun mendengar jeritan ibunya. Bayi itu kubawa turun untuk melihat apa yang terjadi pada ibunya dan supaya kembali ditidurkan ibunya. Aku harus segera berangkat, tidak ada waktu untuk menenangkannya.
Ketika aku hendak mengomeli Petunia karena membuat Dudley terbangun, aku pun terlonjak dan hampir teriak juga. Petunia sedang menggendong bayi. Ekspresi wajahnya sulit dikenali, campuran antara takut, kaget, cemas, dan sedih. Matanya mengerjap, sepertinya berusaha menahan air mata. Dia berkata perlahan dengan suara yang hampir tak terdengar, " Vernon, maafkan aku.."
Dudley kugeletakkan di kereta bayinya, segera tangisannya terhenti begitu kualihkan dengan berbagai macam mainan dan biskuit bayinya. Kudekati Petunia yang semakin ketakutan, "Bayi siapa itu?", tanyaku.
"Bayi Lily...", jawabnya seraya menatapku dengan cemas.
"Maksudmu, adik perempuanmu yang pe...", aku tak sanggup mengatakan kata terlarang itu.
"Ya...", jawabnya lagi.
"Hoo.. kemana adik perempuanmu dan suaminya? Pergi berlibur dan kita dititipkan bayi abnormalnya itu? Pasti bayi ini sama abnormalnya dengan mereka kan? Kembalikan dia, Petunia. Kita tidak ada waktu untuk merawat bayi lainnya.", ujarku.
"Tidak bisa Vernon, mereka tewas. Adikku sudah te...", Petunia tak dapat menyelesaikan kalimatnya. Air mata yang sudah ia tahan, tak bisa lagi dikontrolnya. Petunia jarang sekali menangis. Pertama dan terakhir kali kulihat air matanya adalah ketika kematian ibunya. Dan baru kali ini air matanya terjatuh lagi.
Aku tidak mengerti. Bukankah ia sangat membenci adiknya. Ia tidak suka akan keabnormalan adiknya, takut orang-orang di sekitar kami mengetahui keabnormalan itu. Takut perilaku abnormal adiknya akan merugikan kami. Sudah cukup baginya disisihkan orang tuanya yang lebih menyukai adiknya yang abnormal itu. Namun, kini ia menangis. Ternyata, ia masih menyayangi adiknya.
Ok, baiklah, wajar kalau dia masih menyayanginya, Lily satu-satunya saudara yang dimilikinya. Kelihatannya dia wanita yang baik dan sangat cantik, sayang, dia abnormal.
"Merawat bayinya yang abnormal, OH TIDAK!!!", pikirku.
"Kalau begitu, titipkan ia di panti asuhan, kita tidak bisa merawatnya. Ia akan menularkan keabnormalannya pada Dudley, atau bahkan membahayakan putra kita", ujarku.
Petunia menggelengkan kepalanya lemah dan menunjuk surat yang sudah dibukanya. Aku membaca surat itu. Surat itu berisi berita kematian Lily dan James Potter. Mereka tewas dibunuh oleh Voldemort, seseorang yang sama abnormalnya dengan mereka dan luar biasa jahat, tadi malam. Lalu permohonan bahwa bayi mereka harus kami rawat, karena kamilah satu-satunya keluarga terdekatnya. Surat ini ditulis oleh seseorang yang mengaku sebagai kepala sekolah khusus orang-orang abnormal itu, namanya Albus Dumbledore.
"Kau kenal Dublydore ini?", tanyaku.
Aku heran ketika Petunia mengangguk. Bagaimana ia bisa mengenal orang-orang abnormal itu?
"Petunia, aku sudah terlambat. Bahkan aku sudah tak sempat sarapan. Hari pertama bayi itu sudah membawa masalah bagi kita. Kita bicarakan lagi hal ini nanti", kataku seraya meninggalkannya dan masuk ke mobil.
Perjalananku menuju kantor sama seperti perjalanan kemarin. Jalan-jalan dipenuhi orang-orang berpakaian aneh. kemarin aku bertanya-tanya, siapa mereka. Kini aku mulai menyadaari bahwa mereka mungkin kelompok orang abnormal itu. Apakah mereka ada kaitannya dengan kematian Lily? Kalau iya, kenapa bukan mereka saja yang bertanggung jawab merawat bayi itu? Ah, aku bertambah pusing.
Suasana hatiku bertambah kacau dengan batalnya meeting. Kuputuskan untuk pulang lebih awal. Aku harus bicara pada Petunia. Kami tidak dapat merawat bayi itu.
Ketika kujumpai Petunia di rumah, ia sedang mengurus dua orang bayi. Bergantian ia mengendong Dudley dan bayi itu. Ah bahkan aku belum tahu pasti namanya. Henry? Keliatannya Petunia mulai menyayangi bayi itu. ia tidak menyadari kedatanganku.
"Ah, Vernon, kau sudah pulang? Lihatlah Harry, pamanmu sudah pulang. Vernon tataplah ia, manisnya. Dan lihat, matanya seperti mata Lily. Aku seperti menatap Lily. Vernon, kita bisa membuatnya menjadi normal koq, aku janji! Dudley juga pasti senang karena punya teman. Tadi mereka bermain bersama. Jadi, kumohon, kita rawat dia ya?", Petunia sudah memberondongku dengan kalimat-kalimatnya yang sepertinya sudah direncanakan.
"Hmm.. Ok, kita rawat dia. Tapi aku tidak mengizinkanmu pergi ke pemakaman ibunya. Pasti sangat berbahaya Tuney".
"Oh Vernon..., baiklah", gumamnya lemah.
"Lily, maaf aku tak bisa datang, tapi bayimu akan aman bersamaku", bisik Petunia lembut kepada bayi itu, seakan bayi itu akan menyampaikan kata-kata itu pada ibunya.
[:: Aisyah::]
Sebuah cahaya putih masuk menembus kegelapan kamarku. Perlahan-lahan cahaya itu berubah menjadi seekor phoenix nan indah.
Terdengar sebuah suara lantang arah sang phoenix "Dia tlah pergi Horace, Voldemort telah membunuhnya tadi malam. Kami gagal menyelamatkannya."
Tubuhku terasa lemas seketika, tak pernah terpikir oleh kedua murid kesayanganku akan saling 'membunuh' seperti ini.
Oh Lily... murid kesayanganku... Masih lekat dalam ingatanku mata hijaunya yang selalu memancarkan kecerdasannya. Kecerdasan seorang penyihir terpintar diusiannya.
Oh Lily... Rasanya baru kemarin aku mengantarkanmu ke altar pernihakan menggantikan ayahmu yang tlah tiada, baru saja kemarin aku mendapatkan kabar bahwa kau telah melahirkan.
Kini kau tlah pergi meninggalkanku, gurumu yang tlah tua ini.
'Anak Lily bagaimana anak Lily? Apakah ia juga ikut tewas?'Segera ku keluarkan patronus angsaku, "Albus, bagaimana dengan anaknya? apakah ia tewas?"
Tak lama kemudian patronus Albus kembali menyambangi "Anaknya selamat Horace, aku baru saja mengantarkannya pada Kakak perempuan Lily."
Terima kasih Merlin kau selamatkan anak tidak berdosa itu.
[ :: Rury :: ]
"Whisky Api. Yang paling keras, Tom!" Tanpa kusadari Olivander sudah duduk di depan konter tepat di hadapanku yang sedang mengelap meja.
dengan sedikit lambaian tongkat, kusuguhkan minuman yang dia minta. "Ramai sekali, ya, kedaimu subuh buta seperti ini?!" ucapnya sebelum meneguk isi gelas.
"Sejak kemarin semalam tamu tak hentinya datang dan pergi bagai air bah. Semua merayakan berakhirnya Jaman Kegelapan."
"Belasan tahun kita diliputi kesedihan, kupikir cukup adil buat mereka berpesta sedikit."
"Kulihat kau juga merayakan momen bahagia ini!?" selama puluhan tahun Olivander membuka toko di Diagon Alley, bisa dihitung dengan jari dirinya berhenti untuk minum di kedai milikku.
"Terus terang aku senang Dia-yang-namanya-tak-boleh-disebut sudah mati." Hidungnya memerah tanda Whisky Api sudah cukup memengaruhinya. "Tapi aku tak senang dengan caranya mati."
"Ya, sungguh malang bagaimana cara keluarga Potter meninggal." aku bersimpati dengan sepenuh hati. "menjadi martir untuk sebuah perubahan adalah mulia. tapi tetap saja menyedihkan."
"tak banyak yang bisa kuingat tentang James, si berandal." Sepertinya Olivander sengaja mampir hanya untuk berbagi kisah tentang keluarga Potter. "Namun, Gadis Evans itu benar-benar luar biasa memesona. baik secara fisik maupun tingkah lakunya."
"aku masih mengingat betapa sopan dirinya bertanya bagaimana cara masuk Diagon Alley saat masih berumur 11 tahun." sebagai pemilik kedai yang baik aku harus melayani obrolan pelanggan. "bocah rambut berminyak yang bersamanya hanya berdiri di sudut gelap. seakan takut sosoknya kelihatan."
"Cih! semoga dia membusuk di neraka! aku sudah mengira bahwa jalan hidup Severus takkan berjalan kearah yang baik!" Olivander jelas sangat mabuk.
"Hati-hati, Olivander! tembok masih memiliki telinga!" Ucapku memperingatkan.
"Aku tak suka orang sebaik Lily menikah dengan si Berandal James Potter. tapi itu jauh lebih baik daripada menikahi Severus Snape." kalimat Olivander selanjutnya tak jelas terdengar karena dirinya terlanjur tertidur di konter.
30 jam telah berlalu sejak kabar kejadian besar tersebut. aku meneruskan kegiatan mengelap meja.
[:: Hinata ::]
Lily tewas! Oh, mungkin itu yang terbaik. Aku tak ada waktu untuk berkabung. Berat rasanya menjadi Secret Keeper pasangan yang sebenarnya menurutku bikin repot saja.
Lagipula, cepat atau lambat, Lord Voldemort akan menemukan tempat persembunyian mereka. Bukan salahku kurasa, kalau Sirius memberitahukan soal Godrics Hollow. Toh, aku tidak pernah meminta informasi itu darinya. Jadi kurasa wajar kalaupun Lord bertanya dan aku beri tahu jawabannya, apalagi Lord menjanjikan posisi bagus untukku di Death Eater. Nah, biar Sirius tahu rasa sekarang! Biarlah sekarang ia karatan di Azkaban selamanya.
Apa enaknya selalu disuruh-suruh si Sirius yang bossy? Dari dulu ia hobby menganggapku si bodoh tak berguna. James juga sama menyebalkannya. Snape juga dulu selalu jadi bahan olok-oloknya. Memang sih, bergabung di Marauder tentu saja keren tapi orang-orang tahu apa soal gang itu? Sekumpulan pria sok tahu.
Setidaknya untuk saat ini mudah-mudahan Kementrian Sihir berhasil mengira aku tewas. Sementara aku harus bertahan sebagai tikus buruk rupa. Biarlah aku tetap pada bentuk ini, selama aku bisa lolos dari marabahaya.
Oh sial. Kini aku harus membiasakan diri hidup di got bau dan makan sampah. Dan oh sial, jariku hilang satu. Sungguh repot menjadi tikus malang buruk rupa dengan tangan tidak sempurna.
Lebih baik aku bergegas pergi, menyelamatkan diri pilihan terbaik saat ini. Lord Voldemort sudah menghilang, tidak ada yang bisa melindungiku sekarang. Suatu saat aku harus temukan keluarga penyihir yang mau memeliharaku. Pasti ada. Aku tidak boleh putus asa. Pasti ada.
[:: Anne :: ]
Sejak kuterima kabar bahwa Lord Voldemort menemui kehancurannya diiringi dengan tewasnya pasangan Lily dan James Potter, aku langsung menemui Albus. Dia sedang bersiap keluar dengan memegang phoenixnya ketika aku memasuki kantor kepala sekolah.
“ALBUS, tunggu dulu. Aku mau bicara! Aku mendengar kabar bahwa…”, teriakku.
“Ah, Minerva, maaf, aku terburu-buru. Temui aku di Privet Drive, No. 4 saja, nanti kujelaskan di sana”, ujarnya memotong perkataanku.
“Privet Drive? Tempat apa itu?”, aku bertanya tanpa sempat dijawabnya.
Masih diliputi keheranan, aku bergegas meninggalkan ruangan kepala sekolah dan menemui Pomona Sprout. Hanya dia satu-satunya yang bisa kupercayai untuk menjaga Hogwarts selama aku dan Dumbledore pergi. Prof. Flitwich sudah terlebih dulu pergi ke salah satu pesta peringatan kehancuran Voldemort. Rumor beredar bahwa Voldemort hancur, Lily dan James tewas. Apakah benar rumor itu? Aku masih bingung, namun tetap kulangkahkan kaki menemui Pomona.
“Pomona, aku harus pergi”, ujarku tanpa basa basi ketika aku memauki ruangannya. Ia baru saja menghapus air matanya.
“Oh Minerva, kau juga akan pergi? Ini bukanlah sesuatu yang layak dirayakan. Yah memang, Dia yang tak Boleh Disebut Namanya sudah hancur, tapi kematian pasangan itu.. Oh, Lily…”, ujarnya terisak.
“Aku bukan pergi ke pesta, Pomona. Aku juga tak sanggup untuk bersenang-senang. Kematian Lily dan James sangat menggangguku. Lagipula kita belum tahu kepastiannya. Dumbledore menolak menjelaskannya tadi. Ia ingin aku menemuinya di suatu tempat, di luar sekolah”, jelasku padanya.
“Di luar sekolah? Untuk apa?”, tanyanya.
“Aku juga belum tahu. Albus memang penuh misteri. Namun, kurasa aku harus mematuhinya. Titip sekolah ya selama kami pergi”, pintaku.
“Baiklah, Minerva. Aku akan di sini saja, mengenang Lily, ah meskipun dia murid asramamu, ia juga memiliki karakter Hupplepuff. Baik hati, pekerja keras, dan setia. Aku juga menyayanginya”, ujar Pomona Sprout.
Kudekati dia, kubelai pundaknya untuk menenangkannya. Kuberikan dia cokelat , aku masih punya beberapa batang yang belum kumakan. Tadi pun aku memakan beberapa batang cokelat untuk mengurangi kesedihanku atas kehilangan murid kesayanganku, Lily.
"Terima kasih, Minerva”, ujarnya.
“Aku pergi dulu, Pomona”, ujarku beranjak meninggalkannya.
Begitu keluar dari kastil, aku menatap pondok Hagrid. Gelap. “Hagrid tidak di
pondoknya? Di mana dia? Ah pasti mabuk lagi di Hog’s Head. Sudahlah, akan kuurus itu nanti”, pikirku.
Setelah berada di luar batas sekolah, aku segera ber-apparate menuju Privet Drive. Setibanya di sana, aku mengubah wujudku menjadi seekor kucing abu-abu. Ini lingkungan tempat tinggal muggle, aku tak bisa menunggu diam dalam wujud asliku di sini. Kulangkahkan keempat kakiku menuju rumah No. 4, dan duduk di depan rumah itu.
Sementara menunggu Albus, aku mengamati rumah itu. Hmm.. rumah itu ditinggali oleh keluarga muda. Suaminya merupakan pria yang sangat gemuk dang suka menggerutu, sementara sang istri memiliki wajah yang sepertinya kukenal, Lily.. Ah dia kakak perempuan Lily. Tentu saja, Albus menyuruhku ke sini, ini rumah keluarga Lily. Tapi aku belum mengerti, TUNGGU DULU!!! Kabar yang beredar adalah bahwa bayi Lily selamat, apakah artinya bayi Lily itu akan dititipkan pada keluarga ini? OH TIDAK! Mereka keluarga yang buruk, apalagi bayi mereka yang sangat gendut dan gemar menghancurkan barang itu. Baru 1 jam di sini saja, sudah 9 barang yang dilemparkannya.
Aku tetap menunggu sampai malam tiba. Albus datang dengan diiringi lampu jalanannya yang digelapkan. Tentu saja itu pertanda kehadirannya, satu-satunya pemilik Deluminator. Aku pun segera mengubah wujudku kembali ke keadaan semula.
“Ah Minerva, tentu saja, kucing itu tentunya kau, aku terlambat menyadarinya”, ujarnya menyapaku.
“Albus, jadi benar berita itu?”, tanyaku.
“Yang terbaik dan terburuk. Ya, Minerva, Voldemort menghilang, ah aku ragu kalau dia mati atau hancur. Lily dan James tewas, namun bayi mereka selamat. Hagrid sedang membawanya kemari. Mungkin sebentar lagi ia datang”, jawabnya.
“Hagrid? Kau mempercayakannya membawa bayi Lily?”
“Aku akan mempercayakan hidupku padanya, Minerva. Nah itu dia datang”.
Motor terbang yang besar mendarat di hadapan kami. Hagrid, manusia yang luar biasa besarnya itu turun dengan menggendong bayi Lily.
“Profesor Dumbledore, Profesor McGonagall”, sapanya.
“Hagrid, tak ada masalahkan?” tanya Dumbledore.
“Tidak, Profesor. Bayi ini sudah terlelap sejak aku mengambilnya”, Hagrid menyerahkan bayi itu pada Dumbledore.
Dumbledore pun membawanya ke depan pintu rumah itu. “Tunggu dulu, Albus. Kau yakin akan meninggalkannya di sini? Aku sudah mengamati mereka seharian, Ah, mengerikan keluarga itu. Harry tidak pantas bersama mereka”, ujarku berusaha menghalangi niat Dumbledore.
“Tenanglah Minerva, Harry akan aman”, ujarnya tetap meletakkan bayi itu dan sehelai surat.
“Ayo kita pergi, jangan menangis Hagrid, ini bukan perpisahan. Kita akan segera bertemu kembali dengannya”, ujar Dumbledore.
Ah, aku sedih meninggalkan bayi itu, namun kami harus pergi. “Baik-baik di sini ya Harry”, gumamku.
Kamipun kembali ke Hogwarts. Sesampainya di Hogwarts, Pomona tergesa berlari menyambut kami. “Profesor Dumbledore, Severus Snape datang ke sini, ia memaksa masuk, katanya ingin bertemu denganmu”.
“Severus Snape? Oh tidak! Bahaya sekali Albus, dia pasti ingin membalaskan dendam atas kehancuran tuannya. Sebaiknya kita menghubungi auror untuk menangkapnya”, seruku.
“Tenanglah, Minerva, biarkan aku menemuinya dulu, kembalilah ke ruanganmu, nanti akau kupanggil lagi kau”.
Albus bergegas menemui Severus Snape. Tak lama kemudian ia memanggilku ke ruangannya. Severus Snape masih di dalam. Ekspresi wajahnya aneh, seperti habis menangis, menyimpan luka yang dalam. Karena kepergian tuannya? Atau mungkin, Lily? Ah, aku tak mengerti, yang pasti aku harus waspada, dia salah satu death eater.
“Ada apa Albus?”, tanyaku.
“Minerva, perkenalkan, ini guru terbaru kita. Severus Snape akan menggantikan Horace sebagai guru ramuan dan kepala asrama Slytherin. Slughorn sudah lama minta pensiun, dan kali ini ia berhak mendapatkannya. Ia terlampau sedih setelah mendengar kematian Lily, murid kesayangannya, ia tak sanggup kembali mengajar. Dan kau sudah tahu tentunya, Severus adalah murid Slughorn yang paling pintar selain Lily tentunya. Ia sangat ahli membuat ramuan, ma layaklah ia mendapatkan pekerjaan itu”, ujar Dumbledore.
“Severus Snape? Mengajar di Hogwarts? Albus, dia death eater!”, seruku.
“Tidak lagi Minerva, ia sudah tidak lagi menjadi bagian dari kelompoknya. Aku jamin itu”, ucap Dumbledore.
Severus Snape hanya menatapku dalam diam, tak ada protes dan reaksi atas penolakanku.
Albus hari ini membuatku benar-benar pusing, pergi begitu saja meninggalkan Hogwarts, menyuruhku ke Privet Drive, menyuruh hagrid mengantarkan Harry, menitipkan Harry pada keluarga muggle, dan kini menerima Snape sebagai pengajar Hogwarts! Lagi-lagi aku harus menuruti keinginan kepala sekolah ini.
“Istirahatlah Minerva, besok kita akan menghadiri pemakaman Lily dan James.
"Kau ikut kan Severus?”, tanya Dumbledore.
“Tidak Profesor, aku harus menyiapkan bahan ajarku”, ujarnya dingin.
Aku pun menatapnya tak percaya. Dia teman terdekat Lily , namun tak mau menghadiri pemakamannya? “Ah ya, tentu saja, dia anak buah Voldemort, mana mau dia menghadiri pemakaman orang yang membuat hancur tuannya”, batinku.
Aku pun kembali ke kamarku untuk menenangkan pikiran dan mempersiapkan diri menghadiri pemakaman Lily besok pagi.
[::Aisyah::]
“Nah, jika memang tak ada lagi yang mau memberikan kata perpisahan. Mari kita tinggalkan tempat peristirahatan ini dalam damai dan memberikan kesempatan pada kedua kekasih yang pergi menuju alam keabadian untuk melanjutkan perjalanannya.” Sayup kudengar pria pendek dengan rambut sejumput itu mulai memberikan kalimat penutupan sementara aku masih berjuang memaksa kakiku menuju kerumunan.
“Tunggu!” Teriakku dari jarak yang lumayan jauh. Hampir semua hadirin menoleh ke arahku. Langkahku tersendat-sendat karena sepatu hak tinggi yang sedang kugunakan. Jika tidak sangat terpaksa tentunya aku tak mau memakai setelan berkabung sialan ini.
“Nyonya Petunia Dursley.” Ucap Dumbledore ramah saat aku melangkah menuju podium. Aku mengangguk tak kalah sopan.
Aku memandang sekeliling. Ternyata begitu banyak orang yang menghadiri pemakaman Lily. Beberapa wajah aku kenal. Sementara banyak lainnya yang aku tak ketahui. Aku menarik napas panjang. Mencoba mengumpulkan kata yang terlanjur terserak.
“Saya takkan mengucapkan kata pujian untuk Lily – yang pernah dan akan selalu saya sayangi – karena saya yakin sudah banyak sekali yang mengutarakannya.” Rok sialan! Pahaku gatal-gatal karenanya. “Saya juga takkan bicara tentang betapa luar biasanya seseorang bernama Lily tersebut karena tentunya semua orang juga sudah tahu.”
Entah karena sudah teramat lelah, beberapa orang sepertinya tak begitu menyimak uraianku. Aku tak peduli. “Pada kesempatan ini saya akan bercerita tentang sebuah rahasia. Rahasia yang hanya diketahui oleh kami berdua. Rahasia yang benar-benar rapat kami simpan.”
Aku mulai mendapatkan perhatian para hadirin.
“Kami dulu cukup dekat. Dulu.” Ucapku lemah. “Saya tak tahu apakah Lily masih menyayangiku hingga akhir hayatnya atau tidak, yang jelas rasa sayang yang saya miliki tak berkurang meski digerus aliran waktu. Meski dirinya masuk Gryffindor, sedangkan saya tidak. Meski dirinya memilih untuk menghabiskan waktu dengan James dibanding dengan saya. Dan tak terkira kecewanya saya saat Lily menikahi pria Sok Hebat itu.”
Aku berhenti cukup lama. Menghirup napas panjang berkali-kali. “Namun ada satu masa, masa sebelum pikiran Lily diracuni oleh James dia memberikan saya setangkai bunga dalam gelas kaca. Bunga lily.
“Katanya bunga itu takkan pernah layu dan dari waktu ke waktu akan menyebarkan aroma harum yang khas. Bunga tersebut akan terus mekar selama pembuatnya, yaitu Lily, hidup. Dia ingin saya menganggap bunga tersebut sebagai simbol dirinya. Dia ingin kami bisa selalu dekat.”
Beberapa hadirin wanita mulai berkaca-kaca. Aku tak peduli. “Mungkin anda berpikir hal tersebut sangatlah manis. Mulanya saya juga berpikir begitu. Tapi tahukah anda? Seiring dengan waktu, bunga tersebut cukup merepotkan saya - Bentuknya yang terlalu lembut, baunya yang terlampau menyenangkan -. Pemberian Lily tersebut bisa merusak karakter yang sengaja saya bangun. Saya tak ingin orang-orang disekitar tahu tentang hubungan saya dan Lily. Karena tentu saja hal tersebut akan cukup berbahaya bagi kami.
“Sebisa mungkin saya harus menyembunyikannya di tempat yang sangat aman. Jauh dari penglihatan orang-orang yang tak berkepentingan. Saya harus menyembunyikannya selama masa-masa sekolah, masa-masa setelah sekolah, hingga sekarang ini.”
Beberapa orang mengangguk-angguk seakan mengerti penderitaanku. “Namun, memasuki masa penuh mara bahaya yang diciptakan oleh Pangeran Kegelapan. Saya telah dipisahkan dengan Lily oleh tembok yang begitu tinggi. Tak terbayangkan betapa resah saya karena tak bisa mendampingi Lily melewatinya.
“Hal yang pertama saya lakukan setiap pagi adalah memastikan bahwa lily masih mekar, setiap siang saya berdoa lily dalam kaca tersebut terus mekar, setiap malam selama berjam-jam saya menatap pemberiannya hanya untuk meyakinkan diri bahwa bunga tersebut masih mekar. Karena itu artinya Lily masih bernapas.
“Tiga hari lalu, untuk pertama dan terakhir kalinya bunga tersebut layu. Seluruh daya hidupku seakan ikut layu. Lily meninggalkanku. Orang yang akan terus menyayanginya.”
Sialan! Aku mempermalukan diri dengan menangis di hadapan mereka. “Tak terbayangkan betapa inginnya saya agar bunga tersebut kembali mekar. Menikmati momen kubenci sekaligus kurindukan. Saya rela jika harus menukarnya dengan seluruh jiwa saya asalkan momen tersebut bisa kembali saya dapatkan.”
Aku meletakkan gelas kaca berisi sebatang bunga lily yang telah layu di atas pusaranya. “Selamat jalan, Lily...”
Aku bergegas meninggalkan kerumunan. Hadirin bertepuk tangan. Aku tak peduli. Yang aku tahu adalah Ramuan Polyjus buatanku sebentar lagi akan kehilangan khasiatnya.
[:: Hinata ::]
FIN. TAMAT. THE END
Terima kasih untuk para kontributor. :D
Namun, tunggu dulu. Cahaya merah apa itu? Mengapa ada cahaya selanjutnya? Terdengar teriakan, teriakan itu bukan teriakan Lily, itu teriakan seseorang yang sesaat lalu masih kuanggap sebagai tuan. Ah, berarti Lily masih hidup? Apakah ia berhasil menghindar dari kutukan mematikan itu dan kembali melawan?
Kucoba melangkahkan kaki berjalan ke depan, mencoba mengais harapan. Semoga ia masih bertahan. Lily, aku akan menemuimu, tunggulah dulu. Sekali ini saja, kumohon...
Sulit sebetulnya melangkahkan kaki ini, tapi sedikit asa akan kehidupanmu, mampu membuatku maju. Pagar yang terlempar keluar akibat ledakan dari rumahmu berhasil kulewati, dinding rumahmu pun hancur berantakan. Potter sudah tergeletak tak bernyawa. Tak sedikitpun aku kasihan padanya. Salah ia sendiri mempercayai orang yang salah. Kesalahannya pula jika kau ikut mati, Lily. TIDAK!!! Kau tak boleh mati!
Keadaan begitu hening merasuki jiwaku. Aku takut, aku sangat cemas. Bersuaralah Lily, tunjukkan bahwa kau masih hidup!
Puing-puing ini menghalangi jalanku. Tubuhku semakin kaku untuk digerakkan. Tapi aku harus terus maju, menghampirimu, menemukanmu.
Ti.. ti.. TI DAAAAK!!!!! Kau... kau hanya pingsan kan Lily? Lily.. Lily, Bangunlah! Tataplah aku..
Kugoncangkan tubuhmu, namun kau tak juga bergerak, tubuhmu mendingin, tak ada lagi denyut dari nadimu. Kupeluk erat tubuhmu. Tak mau lagi kulepaskan. Lily... Maafkan aku...
[::Aisyah::]
Hiks. Aku haus. Mum, aku lapar. Hiks.
Aku terus menangis, Mum seharusnya mendengarku. Biasanya ia selalu tahu kalau aku menangis.Tadi dia disini bersamaku dan seseorang berjubah hitam menakutkan. Aku ingat tadi Mum berteriak kepada orang itu. Mum berdiri membelakangiku. Aku haus, Mum, dan lapar. Hiks. Mum, kau mendengarku kan?
Aku benci saat harus terbangun malam-malam karena terkejut. Ada suara berisik tadi dibawah. Dan suara Dad berteriak. Dan aku menangis kencang karena terbangun tiba-tiba. Mum menghampiriku dengan terburu-buru, lalu mendekapku kedalam pelukan hangatnya dan bernyanyi untuk menenangkanku. Suara dibawah mulai mereda. Aku pun mulai berhenti menangis, dan kini mengantuk kembali. Tetapi aku merasakan tubuh Mum menegang, pelukannya kaku. Aku tak tahu kenapa.
Mum meletakkanku kembali ke dalam tempat tidurku. Aku baru akan tidur saat seseorang berjubah hitam menyeramkan memasuki kamarku, dan aku mendengar Mum berbicara padanya, entah apa. Suara orang itu begitu kasar dan jahat, aku ketakutan dan kembali menangis.
Aku menangis semakin kencang, tetapi Mum tidak menggubrisku. Hiks. Mum membelakangiku untuk menghadapi orang jahat itu. Aku mendengar Mum menangis dalam suaranya. Hiks. Mum, aku haus. Aku ingin Mum sekarang.
Sesaat yang lalu aku melihat jubah hitam menyeramkan itu. Aku takut. Aku menangis semakin kencang lagi. Hiks. Orang itu jahat!
Lalu kilatan cahaya hijau menerangi sekitarku hingga aku berhenti menangis sejenak.
Sekarang semua sepi. Aku melihat Mum tertidur di lantai. Mum, aku lapar, dan haus. Mum, bangun!
Aku kembali menangis untuk mendapatkan perhatian Mum. Hiks. Tidak ada jawaban.
Hiks. Aku menangis semakin kencang. Tapi tetap saja Mum tidak bangun. HIks.
Aku terus menangis. Dad juga tak kunjung datang. Hiks. Kini aku benar-benar haus dan lapar.
Ada seseorang berjubah hitam lain yang tak aku kenal memasuki kamarku. Orang itu melirik padaku. Hiks. Aku mencoba menangis semakin kencang agar orang itu memperhatikanku. Tetapi ia melewatiku dan menghampiri Mum yang sedang tidur. Hiks. Orang itu memeluk Mum dan menangis.
Lalu yang aku tahu aku hanya melihat sepintas wajahnya dan rambut hitamnya. Sebuah tongkat kayu ia arahkan kepadaku. Kemudian aku berhenti menangis dan tertidur.
[ :: astrin :: ]
Aku tiba di Godric's Hollow. Banyak Muggle di sana. Terpaksa aku gunakan mantra Obliviate ke mereka.
Rumah keluarga Potter terlihat hancur, dan asap hitam mengepul di ruang bagian atas. Aku belum melihat ada Garis Auror terlihat mengelilingi rumah itu. Tapi pasti tak lama lagi akan banyak orang dari Kementrian Sihir ikut menyelidiki TKP ini.
Aku harus bergerak cepat. Anak itu harus diselamatkan. Sungguh keji apa yang dilakukan oleh Dia-Yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebut. Lily Potter anak yang manis. Murid Gryffindor yang cerdas. Sungguh tragis nasibnya.
'Harry! Harry! Oh malangnya! Cup cup cup, sayang, Paman ada di sini. Sekarang kita jalan-jalan 'dikit ya...'
Sambil mencari selimut bayi yang mungil, aku harus mengingat lagi pesan dan peta yang diberikan Prof.Dumbledore di perkamennya. Aku bertugas membawa Harry bayi di atas motor Sirius, tadi dari rumah aku sempat membawa keranjang untuk telur naga, tidak terlalu mewah, tapi yang penting sudah kubersihkan dari kotoran.
Untunglah McGonnagal yang mengingatkanku dan Dumbledore bahwa Lily masih punya keluarga dekat yang menikah dengan seorang muggle. Aku agak sedikit lupa mereka, terakhir bertemu saat pernikahan Lily dengan James Potter beberapa tahun yang lalu.
Motor besar milik Sirius berbunyi nyaring. Untunglah tak ada Muggle yang memperhatikan karena kuparkir di tempat tersembunyi. Kini aku dan Harry terbang ke atas langit. Malam terlihat lebih berbintang kala mata berkaca-kaca.
James, Lily, bayi kalian aman. Beristirahatlah dengan tenang.
[:: Anne :: ]
Hampa. Hanya Vernon berjalan hilir-mudik di ruang tamu sambil mengomel tanpa henti. Untunglah Dudley tertidur dengan tenang di kamarnya. Tidak terganggu. Di depanku, sebuah keranjang berisi anak bayi laki-laki tertidur pulas. Kutemukan pagi ini di depan pintu
“Surat apa ini?! Omong kosong! Bagaimana mereka bisa tahu keberadaan kita?” omel Vernon sambil meletakkan surat di atas meja. Aku hanya bisa terdiam. Lily???
Kutahan tangisanku. Vernon tidak boleh tahu bahwa diam-diam aku masih memikirkan adikku yang aneh itu. “Coba kau lihat, Petunia! Mereka bilang adikmu dan suaminya mati. Kenapa tidak ada di berita pagi ini?” kata Vernon.
“Kau tahu kumpulan mereka. Mana mungkin bisa masuk berita di TV?” jawabku, berusaha menenangkan diri. Vernon menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Kau urus bayi ini. Aku terlambat ke rapat penting,” kata Vernon sambil berjalan ke arah pintu. Aku mendengar Vernon membuka dan membanting pintu dengan keras. Aku memejamkan mata sebentar.
Bunyi pintu membangunkan bayi laki-laki di keranjang. Reflek aku berlari menghampiri bayi tersebut. Kugendong bayi itu dan berusaha menenangkannya. “Jangan menangis, Harry. Bibi di sini,” kataku sambil menepuk lembut. Tangisan Harry mulai mereda.
Kuambil surat yang tadi dibaca Vernon. Surat dari seseorang bernama Albus Dumbledore yang mengabarkan kematian James dan Lily Potter. Surat itu juga meminta aku dan Vernon untuk merawat Harry Potter, anak mereka. Keponakanku satu-satunya.
Setelah membaca surat itu, kupandangi bayi Harry. Tanpa sadar, air mataku mulai menetes. “Harry, kau memiliki mata Lily,” isakku. Bayi Harry balas memandangku, membuatku tidak bisa membendung air mata lagi. Sambil memeluk bayi Harry, aku hanya bisa berbisik, “Lily. Kenapa bisa begini?”
Aku tak tahu sudah berapa lama aku menangis. Kuhapus air mataku dan memandangi bayi Harry. “Kau tahu, aku tidak akan membiarkanmu menjadi bagian kelompok orang tuamu. Kau harus jadi orang normal. Aku pastikan kau tidak menjadi bagian dari mereka. Aku janji,” kataku sambil memeluk Harry.
Kulirik jam dinding di ruang tamu. Vernon belum tiba di kantor. Aku akan menelepon Vernon dan mengatakan keputusannya. Ketika Vernon pulang, kami akan membicarakan rencana untuk bayi Harry.
Kuletakkan Harry kembali di keranjangnya dan bergegas ke dapur, menyiapkan makanan untuk Dudley. Tidak lupa, kuselipkan foto aku dan Lily ketika kami masih kecil. Setidaknya, hanya itu yang bisa kulakukan untuk Lily.
[:: Maddy :: ]
Hari ini benar-benar penuh duka, sepasang penyihir yang baru beberapa tahun lalu kurawat dan kujaga telah pergi. Sepasang penyihir yang merupakan pernah menjadi tanggung jawabku, dan baru saja kulepaskan dari tanggung jawab malah menjadi bencana. James Potter dan Lily Evans Potter, dua Gryffindor ini baru saja menikah dan memiliki anak, dan seharusnya mereka dapat lebih menikmatinya lebih lama.
Waktu terasa begitu cepat, bahkan aku masih bisa merasakan perayaan pernikahan mereka seperti kemarin. Nyatanya, waktu tidak berpihak pada mereka. Setelah satu tahun mereka memiliki seorang putra, Pangeran Kegelapan sudah mengacaukan semuanya. Dia-Yang-Namanya-Tidak-Boleh-Disebut telah membunuh keduanya, James dan Lily.
Sulit bagiku mendengar kabar ini, oh… kenapa semua ini bisa terjadi. Terlebih lagi untuk Lily, terakhir yang kuingat, ia adalah penyihir kecil yang pintar dan berbakat, sempat menjadi murid kesayangan Profesor Slughorn. Sulit dipercaya, sangat sulit dipercaya…
Kabar penyerangan ini tersebar begitu cepat, seperti angin yang tak pernah berhenti berhembus. Aku yakin penyihir lain sama syok-nya denganku, terduduk dan hampir kehilangan oksigen ketika mendengar penyerangan itu pertama kali. Dalam beberapa menit itu juga aku tak dapat berpikir, hanya dapat membayangkan beberapa kenangan terakhir yang masih dapat diingat darinya.
Mendengar ada hal yang tidak biasa, hal yang lebih mengejutkan dari penyerangan itu, aku segera bangkit dari ketidakberdayaan mengingat masa lalu. Aku tidak pernah salah selalu menyebutnya penyihir pintar dan berbakat, itu terbukti dari sisa-sisa penyerangan itu. Seorang bayi yang lemah tak berdaya, seorang bayi yang merupakan anak dari Lily, selamat dan melumpuhkan Pangeran Kegelapan.
Bagaimana bisa bayi itu selamat? Dan menurut kabar, Lily menggunakan mantra kuno yang sangat langka, mantra dimana berhasil melindungi anaknya dari serangan mantra terkutuk paling menakutkan dan bahkan melumpuhkan Pangeran Kegelapan. Sedikit lega mendengarnya, setidaknya duka atas kepergian James dan Lily masih dapat dibalas dengan keselamatan bayi mereka dan kepergian Dia-Yang-Namanya-Tidak-Boleh-Disebut.
[:: W.m. Ibrahim ::]
"Ibu aku--takk-ing" kataku sambil mengacung-acungkan jari gemukku kearah Harry si anak menyebalkan itu.aku belum bisa berbicara banyak, jadi aku hanya bisa mengatakan itu, siapa tahu saja ibu tahu maksud ku."Oh Ickle Dudde ku sayang, Ibu juga tak suka dengan anak itu, tapi bagaimana lagi? Ibu takut tetangga akan ngomong yang ngga-nggak tentang ibu, kau tak mau kan sayang" kata Ibu dengan mencubit keras pipiku.
Aku sebal anak itu ada dirumahku, semenjak kehadirannya jatah porsi makanku berkurang, aku tahu kalau ibu membaginya dengan anak itu.
Ibu masuk ke dapur karena aku meronta-ronta ingin meminum susu, ini sengaja aku lakukan agar aku bisa setidaknya mencubit atau memukul anak ini, yah walaupun aku tahu pukulanku tak begitu keras.
[:: Winda ::]
"SIAL!!" Aku memukul lagi dinding sel dingin Azkaban ini, tak peduli dengan rasa sakit dan beberapa tetes darah yang sudah merasuki buku-buku tanganku.
Aku marah, marah sekali. Dan aku tahu dengan jelas mengapa. Aku melihat sendiri mayat James dan Lily di Godric's Hollow semalam. Aku terlambat. Saat itu aku tahu siapa yang menjadi musuh dalam selimut.
"PETER KURANGAJAR!!" Berani-beraninya dia mengkhianati kami! Sahabatnya! Aku lebih memilih mati dari pada harus mengkhianati sahabatku sendiri!
Satu pukulan lagi aku daratkan ke dinding sel. Deru nafasku tak karuan, antara benci, marah, dan sedih, aku dapat mendengarnya. Aku tak peduli dengan keberadaan dementor di luar selku, mereka seakan tak berani mendekatiku.
Bisa-bisanya dia menjadi mata-mata Voldemort untuk Orde!
Tidak seharusnya James dan Lily mati! Dan semua itu karena kau, Peter!
Aku telah salah mempercayaimu! Kau bukan sahabatku!
"PENGKHIANAAT!!" Sekali lagi aku hempaskan kebencianku pada dinding sel Azkaban, berteriak untuk sedikit mengurangi kemarahan dan kebencianku pada Wormtail. Sebutir air mata tanpa sadar jatuh di tulang pipiku. Rasanya begitu menyesakkan. Nafasku perlahan melambat, hidungku terasa tersumbat sesuatu. Aku menempelkan dahiku ke dinding dan memejamkan mataku, menyesapi semua hal yang terjadi semalam.
Aku marah, benci, kecewa, sedih, dan merasa bersalah disaaat yang bersamaan. Semua perasaan itu menghujatku. Melihat tubuh tak bernyawa James karena pengkhianatan sahabat kami sendiri. Aku senang pada akhirnya Wormtail mati dan tubuhnya hancur. Tetapi 12 muggle juga mati bersamanya. Dia bunuh diri dan menenmpatkanku di penjara terkutuk ini! "Sial!"
Aku merutuki hidupku. Teringat semua kenangan bersama James, Lily, dan Harry di pesta ulangtahnnya yang pertama.
James, maafkan aku. Aku tak bisa menjadi ayah baptis Harry yang baik. Aku malah terperangkap disini dan menelantarkan anakmu bersama saudara muggle Lily. Seharusnya aku yang merawatnya.
Dan Lily. Oh Lily, maafkan aku. Aku telah memisahkanmu dari Harry. Aku telah salah menilai sahabatku, Lily. Aku seharusnya mendengarkanmu bahwa Remus tidak mungkin mengkhianati Orde. Aku tidak percaya kalau baru kemarin pagi kau memarahiku karena Dre Head sebagai hadiah Halloween Harry dariku. Kita bahkan baru beberapa hari yang lalu mengobrol membicarakan keanehan Dumbledore.
Kau begitu baik, Lily. Aku bahagia menjadi pendamping pria di pernikahanmu dan James. Aku tahu James sangat beruntung menikahimu. Dan aku yakin James tidak akan menyesal jatuh cinta kepadamu. Kau layak dicintai, Lily. James adalah pecundang yang beruntung mendapatkanmu. Dan Harry adalah anugerah terindah yang pernah kau berikan pada kami, Lily. Harry, anak baptisku.
Tapi semua sudah hancur. Kau dan James telah pergi. Voldemort telah membunuh kalian. Dan aku telah kehilangan sahabat-sahabat terbaikku.
Seharusnya aku datang lebih awal. Seharusnya aku bisa menyelamatkan kalian. Dan seharusnya aku tidak memberikan kepercayaanku pada Wormtail.
"Wormtail Sialan!!"
Aku memukul dinding lagi. Rasa perih pada buku-buku jariku semakin menyakitkan. Aku baru menyadari udara di sekitar selku menjadi lebih dingin. Tubuhku gemetar, ada rasa takut yang aku rasakan. Dementor sebentar lagi datang menagih jatah makannya. Aku tahu mereka merasakan ada kebahagiaan yang banyak padaku, aku baru saja memikirkannya.
Kali ini ada 2 dementor yang berdiri di depan pintu selku menyambut makanannya. Aku melihat mereka, tubuhku bergetar semakin kencang, ketakutan semakin jelas terasa dimataku. Aku telah putus asa, tak bisa lagi melarikan diri, sel ini sangat sempit. Semua kepedihan semakin nyata dihadapanku, rasa bersalah seakan merobek hatiku. James, Remus, Harry, dan Lily, aku mohon maafkan aku.
Dementor-dementor itu tersenyum menyambutku.
[ :: astrin :: ]
Hari ini seharusnya menjadi hari yang indah. Aku ada tender dengan pemerintah kota London untuk perbaikan saluran di kanal barat kota. Namun bayi sialan itu merusak segalanya. Tender dibatalkan karena aku terlambat datang dan suasana hatiku sangat buruk, ah semakin buruk!
Pagi ini diawali dengan teriakan Petunia ketika membuka pintu untuk mengambil koran pagi. Namun bukan koran pagi yang didapatkannya. Di depan pintu kami terdapat bayi yang sedang tidur nyenyak dan sehelai surat.
Dudley pun terbangun mendengar jeritan ibunya. Bayi itu kubawa turun untuk melihat apa yang terjadi pada ibunya dan supaya kembali ditidurkan ibunya. Aku harus segera berangkat, tidak ada waktu untuk menenangkannya.
Ketika aku hendak mengomeli Petunia karena membuat Dudley terbangun, aku pun terlonjak dan hampir teriak juga. Petunia sedang menggendong bayi. Ekspresi wajahnya sulit dikenali, campuran antara takut, kaget, cemas, dan sedih. Matanya mengerjap, sepertinya berusaha menahan air mata. Dia berkata perlahan dengan suara yang hampir tak terdengar, " Vernon, maafkan aku.."
Dudley kugeletakkan di kereta bayinya, segera tangisannya terhenti begitu kualihkan dengan berbagai macam mainan dan biskuit bayinya. Kudekati Petunia yang semakin ketakutan, "Bayi siapa itu?", tanyaku.
"Bayi Lily...", jawabnya seraya menatapku dengan cemas.
"Maksudmu, adik perempuanmu yang pe...", aku tak sanggup mengatakan kata terlarang itu.
"Ya...", jawabnya lagi.
"Hoo.. kemana adik perempuanmu dan suaminya? Pergi berlibur dan kita dititipkan bayi abnormalnya itu? Pasti bayi ini sama abnormalnya dengan mereka kan? Kembalikan dia, Petunia. Kita tidak ada waktu untuk merawat bayi lainnya.", ujarku.
"Tidak bisa Vernon, mereka tewas. Adikku sudah te...", Petunia tak dapat menyelesaikan kalimatnya. Air mata yang sudah ia tahan, tak bisa lagi dikontrolnya. Petunia jarang sekali menangis. Pertama dan terakhir kali kulihat air matanya adalah ketika kematian ibunya. Dan baru kali ini air matanya terjatuh lagi.
Aku tidak mengerti. Bukankah ia sangat membenci adiknya. Ia tidak suka akan keabnormalan adiknya, takut orang-orang di sekitar kami mengetahui keabnormalan itu. Takut perilaku abnormal adiknya akan merugikan kami. Sudah cukup baginya disisihkan orang tuanya yang lebih menyukai adiknya yang abnormal itu. Namun, kini ia menangis. Ternyata, ia masih menyayangi adiknya.
Ok, baiklah, wajar kalau dia masih menyayanginya, Lily satu-satunya saudara yang dimilikinya. Kelihatannya dia wanita yang baik dan sangat cantik, sayang, dia abnormal.
"Merawat bayinya yang abnormal, OH TIDAK!!!", pikirku.
"Kalau begitu, titipkan ia di panti asuhan, kita tidak bisa merawatnya. Ia akan menularkan keabnormalannya pada Dudley, atau bahkan membahayakan putra kita", ujarku.
Petunia menggelengkan kepalanya lemah dan menunjuk surat yang sudah dibukanya. Aku membaca surat itu. Surat itu berisi berita kematian Lily dan James Potter. Mereka tewas dibunuh oleh Voldemort, seseorang yang sama abnormalnya dengan mereka dan luar biasa jahat, tadi malam. Lalu permohonan bahwa bayi mereka harus kami rawat, karena kamilah satu-satunya keluarga terdekatnya. Surat ini ditulis oleh seseorang yang mengaku sebagai kepala sekolah khusus orang-orang abnormal itu, namanya Albus Dumbledore.
"Kau kenal Dublydore ini?", tanyaku.
Aku heran ketika Petunia mengangguk. Bagaimana ia bisa mengenal orang-orang abnormal itu?
"Petunia, aku sudah terlambat. Bahkan aku sudah tak sempat sarapan. Hari pertama bayi itu sudah membawa masalah bagi kita. Kita bicarakan lagi hal ini nanti", kataku seraya meninggalkannya dan masuk ke mobil.
Perjalananku menuju kantor sama seperti perjalanan kemarin. Jalan-jalan dipenuhi orang-orang berpakaian aneh. kemarin aku bertanya-tanya, siapa mereka. Kini aku mulai menyadaari bahwa mereka mungkin kelompok orang abnormal itu. Apakah mereka ada kaitannya dengan kematian Lily? Kalau iya, kenapa bukan mereka saja yang bertanggung jawab merawat bayi itu? Ah, aku bertambah pusing.
Suasana hatiku bertambah kacau dengan batalnya meeting. Kuputuskan untuk pulang lebih awal. Aku harus bicara pada Petunia. Kami tidak dapat merawat bayi itu.
Ketika kujumpai Petunia di rumah, ia sedang mengurus dua orang bayi. Bergantian ia mengendong Dudley dan bayi itu. Ah bahkan aku belum tahu pasti namanya. Henry? Keliatannya Petunia mulai menyayangi bayi itu. ia tidak menyadari kedatanganku.
"Ah, Vernon, kau sudah pulang? Lihatlah Harry, pamanmu sudah pulang. Vernon tataplah ia, manisnya. Dan lihat, matanya seperti mata Lily. Aku seperti menatap Lily. Vernon, kita bisa membuatnya menjadi normal koq, aku janji! Dudley juga pasti senang karena punya teman. Tadi mereka bermain bersama. Jadi, kumohon, kita rawat dia ya?", Petunia sudah memberondongku dengan kalimat-kalimatnya yang sepertinya sudah direncanakan.
"Hmm.. Ok, kita rawat dia. Tapi aku tidak mengizinkanmu pergi ke pemakaman ibunya. Pasti sangat berbahaya Tuney".
"Oh Vernon..., baiklah", gumamnya lemah.
"Lily, maaf aku tak bisa datang, tapi bayimu akan aman bersamaku", bisik Petunia lembut kepada bayi itu, seakan bayi itu akan menyampaikan kata-kata itu pada ibunya.
[:: Aisyah::]
Sebuah cahaya putih masuk menembus kegelapan kamarku. Perlahan-lahan cahaya itu berubah menjadi seekor phoenix nan indah.
Terdengar sebuah suara lantang arah sang phoenix "Dia tlah pergi Horace, Voldemort telah membunuhnya tadi malam. Kami gagal menyelamatkannya."
Tubuhku terasa lemas seketika, tak pernah terpikir oleh kedua murid kesayanganku akan saling 'membunuh' seperti ini.
Oh Lily... murid kesayanganku... Masih lekat dalam ingatanku mata hijaunya yang selalu memancarkan kecerdasannya. Kecerdasan seorang penyihir terpintar diusiannya.
Oh Lily... Rasanya baru kemarin aku mengantarkanmu ke altar pernihakan menggantikan ayahmu yang tlah tiada, baru saja kemarin aku mendapatkan kabar bahwa kau telah melahirkan.
Kini kau tlah pergi meninggalkanku, gurumu yang tlah tua ini.
'Anak Lily bagaimana anak Lily? Apakah ia juga ikut tewas?'Segera ku keluarkan patronus angsaku, "Albus, bagaimana dengan anaknya? apakah ia tewas?"
Tak lama kemudian patronus Albus kembali menyambangi "Anaknya selamat Horace, aku baru saja mengantarkannya pada Kakak perempuan Lily."
Terima kasih Merlin kau selamatkan anak tidak berdosa itu.
[ :: Rury :: ]
"Whisky Api. Yang paling keras, Tom!" Tanpa kusadari Olivander sudah duduk di depan konter tepat di hadapanku yang sedang mengelap meja.
dengan sedikit lambaian tongkat, kusuguhkan minuman yang dia minta. "Ramai sekali, ya, kedaimu subuh buta seperti ini?!" ucapnya sebelum meneguk isi gelas.
"Sejak kemarin semalam tamu tak hentinya datang dan pergi bagai air bah. Semua merayakan berakhirnya Jaman Kegelapan."
"Belasan tahun kita diliputi kesedihan, kupikir cukup adil buat mereka berpesta sedikit."
"Kulihat kau juga merayakan momen bahagia ini!?" selama puluhan tahun Olivander membuka toko di Diagon Alley, bisa dihitung dengan jari dirinya berhenti untuk minum di kedai milikku.
"Terus terang aku senang Dia-yang-namanya-tak-boleh-disebut sudah mati." Hidungnya memerah tanda Whisky Api sudah cukup memengaruhinya. "Tapi aku tak senang dengan caranya mati."
"Ya, sungguh malang bagaimana cara keluarga Potter meninggal." aku bersimpati dengan sepenuh hati. "menjadi martir untuk sebuah perubahan adalah mulia. tapi tetap saja menyedihkan."
"tak banyak yang bisa kuingat tentang James, si berandal." Sepertinya Olivander sengaja mampir hanya untuk berbagi kisah tentang keluarga Potter. "Namun, Gadis Evans itu benar-benar luar biasa memesona. baik secara fisik maupun tingkah lakunya."
"aku masih mengingat betapa sopan dirinya bertanya bagaimana cara masuk Diagon Alley saat masih berumur 11 tahun." sebagai pemilik kedai yang baik aku harus melayani obrolan pelanggan. "bocah rambut berminyak yang bersamanya hanya berdiri di sudut gelap. seakan takut sosoknya kelihatan."
"Cih! semoga dia membusuk di neraka! aku sudah mengira bahwa jalan hidup Severus takkan berjalan kearah yang baik!" Olivander jelas sangat mabuk.
"Hati-hati, Olivander! tembok masih memiliki telinga!" Ucapku memperingatkan.
"Aku tak suka orang sebaik Lily menikah dengan si Berandal James Potter. tapi itu jauh lebih baik daripada menikahi Severus Snape." kalimat Olivander selanjutnya tak jelas terdengar karena dirinya terlanjur tertidur di konter.
30 jam telah berlalu sejak kabar kejadian besar tersebut. aku meneruskan kegiatan mengelap meja.
[:: Hinata ::]
Lily tewas! Oh, mungkin itu yang terbaik. Aku tak ada waktu untuk berkabung. Berat rasanya menjadi Secret Keeper pasangan yang sebenarnya menurutku bikin repot saja.
Lagipula, cepat atau lambat, Lord Voldemort akan menemukan tempat persembunyian mereka. Bukan salahku kurasa, kalau Sirius memberitahukan soal Godrics Hollow. Toh, aku tidak pernah meminta informasi itu darinya. Jadi kurasa wajar kalaupun Lord bertanya dan aku beri tahu jawabannya, apalagi Lord menjanjikan posisi bagus untukku di Death Eater. Nah, biar Sirius tahu rasa sekarang! Biarlah sekarang ia karatan di Azkaban selamanya.
Apa enaknya selalu disuruh-suruh si Sirius yang bossy? Dari dulu ia hobby menganggapku si bodoh tak berguna. James juga sama menyebalkannya. Snape juga dulu selalu jadi bahan olok-oloknya. Memang sih, bergabung di Marauder tentu saja keren tapi orang-orang tahu apa soal gang itu? Sekumpulan pria sok tahu.
Setidaknya untuk saat ini mudah-mudahan Kementrian Sihir berhasil mengira aku tewas. Sementara aku harus bertahan sebagai tikus buruk rupa. Biarlah aku tetap pada bentuk ini, selama aku bisa lolos dari marabahaya.
Oh sial. Kini aku harus membiasakan diri hidup di got bau dan makan sampah. Dan oh sial, jariku hilang satu. Sungguh repot menjadi tikus malang buruk rupa dengan tangan tidak sempurna.
Lebih baik aku bergegas pergi, menyelamatkan diri pilihan terbaik saat ini. Lord Voldemort sudah menghilang, tidak ada yang bisa melindungiku sekarang. Suatu saat aku harus temukan keluarga penyihir yang mau memeliharaku. Pasti ada. Aku tidak boleh putus asa. Pasti ada.
[:: Anne :: ]
Sejak kuterima kabar bahwa Lord Voldemort menemui kehancurannya diiringi dengan tewasnya pasangan Lily dan James Potter, aku langsung menemui Albus. Dia sedang bersiap keluar dengan memegang phoenixnya ketika aku memasuki kantor kepala sekolah.
“ALBUS, tunggu dulu. Aku mau bicara! Aku mendengar kabar bahwa…”, teriakku.
“Ah, Minerva, maaf, aku terburu-buru. Temui aku di Privet Drive, No. 4 saja, nanti kujelaskan di sana”, ujarnya memotong perkataanku.
“Privet Drive? Tempat apa itu?”, aku bertanya tanpa sempat dijawabnya.
Masih diliputi keheranan, aku bergegas meninggalkan ruangan kepala sekolah dan menemui Pomona Sprout. Hanya dia satu-satunya yang bisa kupercayai untuk menjaga Hogwarts selama aku dan Dumbledore pergi. Prof. Flitwich sudah terlebih dulu pergi ke salah satu pesta peringatan kehancuran Voldemort. Rumor beredar bahwa Voldemort hancur, Lily dan James tewas. Apakah benar rumor itu? Aku masih bingung, namun tetap kulangkahkan kaki menemui Pomona.
“Pomona, aku harus pergi”, ujarku tanpa basa basi ketika aku memauki ruangannya. Ia baru saja menghapus air matanya.
“Oh Minerva, kau juga akan pergi? Ini bukanlah sesuatu yang layak dirayakan. Yah memang, Dia yang tak Boleh Disebut Namanya sudah hancur, tapi kematian pasangan itu.. Oh, Lily…”, ujarnya terisak.
“Aku bukan pergi ke pesta, Pomona. Aku juga tak sanggup untuk bersenang-senang. Kematian Lily dan James sangat menggangguku. Lagipula kita belum tahu kepastiannya. Dumbledore menolak menjelaskannya tadi. Ia ingin aku menemuinya di suatu tempat, di luar sekolah”, jelasku padanya.
“Di luar sekolah? Untuk apa?”, tanyanya.
“Aku juga belum tahu. Albus memang penuh misteri. Namun, kurasa aku harus mematuhinya. Titip sekolah ya selama kami pergi”, pintaku.
“Baiklah, Minerva. Aku akan di sini saja, mengenang Lily, ah meskipun dia murid asramamu, ia juga memiliki karakter Hupplepuff. Baik hati, pekerja keras, dan setia. Aku juga menyayanginya”, ujar Pomona Sprout.
Kudekati dia, kubelai pundaknya untuk menenangkannya. Kuberikan dia cokelat , aku masih punya beberapa batang yang belum kumakan. Tadi pun aku memakan beberapa batang cokelat untuk mengurangi kesedihanku atas kehilangan murid kesayanganku, Lily.
"Terima kasih, Minerva”, ujarnya.
“Aku pergi dulu, Pomona”, ujarku beranjak meninggalkannya.
Begitu keluar dari kastil, aku menatap pondok Hagrid. Gelap. “Hagrid tidak di
pondoknya? Di mana dia? Ah pasti mabuk lagi di Hog’s Head. Sudahlah, akan kuurus itu nanti”, pikirku.
Setelah berada di luar batas sekolah, aku segera ber-apparate menuju Privet Drive. Setibanya di sana, aku mengubah wujudku menjadi seekor kucing abu-abu. Ini lingkungan tempat tinggal muggle, aku tak bisa menunggu diam dalam wujud asliku di sini. Kulangkahkan keempat kakiku menuju rumah No. 4, dan duduk di depan rumah itu.
Sementara menunggu Albus, aku mengamati rumah itu. Hmm.. rumah itu ditinggali oleh keluarga muda. Suaminya merupakan pria yang sangat gemuk dang suka menggerutu, sementara sang istri memiliki wajah yang sepertinya kukenal, Lily.. Ah dia kakak perempuan Lily. Tentu saja, Albus menyuruhku ke sini, ini rumah keluarga Lily. Tapi aku belum mengerti, TUNGGU DULU!!! Kabar yang beredar adalah bahwa bayi Lily selamat, apakah artinya bayi Lily itu akan dititipkan pada keluarga ini? OH TIDAK! Mereka keluarga yang buruk, apalagi bayi mereka yang sangat gendut dan gemar menghancurkan barang itu. Baru 1 jam di sini saja, sudah 9 barang yang dilemparkannya.
Aku tetap menunggu sampai malam tiba. Albus datang dengan diiringi lampu jalanannya yang digelapkan. Tentu saja itu pertanda kehadirannya, satu-satunya pemilik Deluminator. Aku pun segera mengubah wujudku kembali ke keadaan semula.
“Ah Minerva, tentu saja, kucing itu tentunya kau, aku terlambat menyadarinya”, ujarnya menyapaku.
“Albus, jadi benar berita itu?”, tanyaku.
“Yang terbaik dan terburuk. Ya, Minerva, Voldemort menghilang, ah aku ragu kalau dia mati atau hancur. Lily dan James tewas, namun bayi mereka selamat. Hagrid sedang membawanya kemari. Mungkin sebentar lagi ia datang”, jawabnya.
“Hagrid? Kau mempercayakannya membawa bayi Lily?”
“Aku akan mempercayakan hidupku padanya, Minerva. Nah itu dia datang”.
Motor terbang yang besar mendarat di hadapan kami. Hagrid, manusia yang luar biasa besarnya itu turun dengan menggendong bayi Lily.
“Profesor Dumbledore, Profesor McGonagall”, sapanya.
“Hagrid, tak ada masalahkan?” tanya Dumbledore.
“Tidak, Profesor. Bayi ini sudah terlelap sejak aku mengambilnya”, Hagrid menyerahkan bayi itu pada Dumbledore.
Dumbledore pun membawanya ke depan pintu rumah itu. “Tunggu dulu, Albus. Kau yakin akan meninggalkannya di sini? Aku sudah mengamati mereka seharian, Ah, mengerikan keluarga itu. Harry tidak pantas bersama mereka”, ujarku berusaha menghalangi niat Dumbledore.
“Tenanglah Minerva, Harry akan aman”, ujarnya tetap meletakkan bayi itu dan sehelai surat.
“Ayo kita pergi, jangan menangis Hagrid, ini bukan perpisahan. Kita akan segera bertemu kembali dengannya”, ujar Dumbledore.
Ah, aku sedih meninggalkan bayi itu, namun kami harus pergi. “Baik-baik di sini ya Harry”, gumamku.
Kamipun kembali ke Hogwarts. Sesampainya di Hogwarts, Pomona tergesa berlari menyambut kami. “Profesor Dumbledore, Severus Snape datang ke sini, ia memaksa masuk, katanya ingin bertemu denganmu”.
“Severus Snape? Oh tidak! Bahaya sekali Albus, dia pasti ingin membalaskan dendam atas kehancuran tuannya. Sebaiknya kita menghubungi auror untuk menangkapnya”, seruku.
“Tenanglah, Minerva, biarkan aku menemuinya dulu, kembalilah ke ruanganmu, nanti akau kupanggil lagi kau”.
Albus bergegas menemui Severus Snape. Tak lama kemudian ia memanggilku ke ruangannya. Severus Snape masih di dalam. Ekspresi wajahnya aneh, seperti habis menangis, menyimpan luka yang dalam. Karena kepergian tuannya? Atau mungkin, Lily? Ah, aku tak mengerti, yang pasti aku harus waspada, dia salah satu death eater.
“Ada apa Albus?”, tanyaku.
“Minerva, perkenalkan, ini guru terbaru kita. Severus Snape akan menggantikan Horace sebagai guru ramuan dan kepala asrama Slytherin. Slughorn sudah lama minta pensiun, dan kali ini ia berhak mendapatkannya. Ia terlampau sedih setelah mendengar kematian Lily, murid kesayangannya, ia tak sanggup kembali mengajar. Dan kau sudah tahu tentunya, Severus adalah murid Slughorn yang paling pintar selain Lily tentunya. Ia sangat ahli membuat ramuan, ma layaklah ia mendapatkan pekerjaan itu”, ujar Dumbledore.
“Severus Snape? Mengajar di Hogwarts? Albus, dia death eater!”, seruku.
“Tidak lagi Minerva, ia sudah tidak lagi menjadi bagian dari kelompoknya. Aku jamin itu”, ucap Dumbledore.
Severus Snape hanya menatapku dalam diam, tak ada protes dan reaksi atas penolakanku.
Albus hari ini membuatku benar-benar pusing, pergi begitu saja meninggalkan Hogwarts, menyuruhku ke Privet Drive, menyuruh hagrid mengantarkan Harry, menitipkan Harry pada keluarga muggle, dan kini menerima Snape sebagai pengajar Hogwarts! Lagi-lagi aku harus menuruti keinginan kepala sekolah ini.
“Istirahatlah Minerva, besok kita akan menghadiri pemakaman Lily dan James.
"Kau ikut kan Severus?”, tanya Dumbledore.
“Tidak Profesor, aku harus menyiapkan bahan ajarku”, ujarnya dingin.
Aku pun menatapnya tak percaya. Dia teman terdekat Lily , namun tak mau menghadiri pemakamannya? “Ah ya, tentu saja, dia anak buah Voldemort, mana mau dia menghadiri pemakaman orang yang membuat hancur tuannya”, batinku.
Aku pun kembali ke kamarku untuk menenangkan pikiran dan mempersiapkan diri menghadiri pemakaman Lily besok pagi.
[::Aisyah::]
“Nah, jika memang tak ada lagi yang mau memberikan kata perpisahan. Mari kita tinggalkan tempat peristirahatan ini dalam damai dan memberikan kesempatan pada kedua kekasih yang pergi menuju alam keabadian untuk melanjutkan perjalanannya.” Sayup kudengar pria pendek dengan rambut sejumput itu mulai memberikan kalimat penutupan sementara aku masih berjuang memaksa kakiku menuju kerumunan.
“Tunggu!” Teriakku dari jarak yang lumayan jauh. Hampir semua hadirin menoleh ke arahku. Langkahku tersendat-sendat karena sepatu hak tinggi yang sedang kugunakan. Jika tidak sangat terpaksa tentunya aku tak mau memakai setelan berkabung sialan ini.
“Nyonya Petunia Dursley.” Ucap Dumbledore ramah saat aku melangkah menuju podium. Aku mengangguk tak kalah sopan.
Aku memandang sekeliling. Ternyata begitu banyak orang yang menghadiri pemakaman Lily. Beberapa wajah aku kenal. Sementara banyak lainnya yang aku tak ketahui. Aku menarik napas panjang. Mencoba mengumpulkan kata yang terlanjur terserak.
“Saya takkan mengucapkan kata pujian untuk Lily – yang pernah dan akan selalu saya sayangi – karena saya yakin sudah banyak sekali yang mengutarakannya.” Rok sialan! Pahaku gatal-gatal karenanya. “Saya juga takkan bicara tentang betapa luar biasanya seseorang bernama Lily tersebut karena tentunya semua orang juga sudah tahu.”
Entah karena sudah teramat lelah, beberapa orang sepertinya tak begitu menyimak uraianku. Aku tak peduli. “Pada kesempatan ini saya akan bercerita tentang sebuah rahasia. Rahasia yang hanya diketahui oleh kami berdua. Rahasia yang benar-benar rapat kami simpan.”
Aku mulai mendapatkan perhatian para hadirin.
“Kami dulu cukup dekat. Dulu.” Ucapku lemah. “Saya tak tahu apakah Lily masih menyayangiku hingga akhir hayatnya atau tidak, yang jelas rasa sayang yang saya miliki tak berkurang meski digerus aliran waktu. Meski dirinya masuk Gryffindor, sedangkan saya tidak. Meski dirinya memilih untuk menghabiskan waktu dengan James dibanding dengan saya. Dan tak terkira kecewanya saya saat Lily menikahi pria Sok Hebat itu.”
Aku berhenti cukup lama. Menghirup napas panjang berkali-kali. “Namun ada satu masa, masa sebelum pikiran Lily diracuni oleh James dia memberikan saya setangkai bunga dalam gelas kaca. Bunga lily.
“Katanya bunga itu takkan pernah layu dan dari waktu ke waktu akan menyebarkan aroma harum yang khas. Bunga tersebut akan terus mekar selama pembuatnya, yaitu Lily, hidup. Dia ingin saya menganggap bunga tersebut sebagai simbol dirinya. Dia ingin kami bisa selalu dekat.”
Beberapa hadirin wanita mulai berkaca-kaca. Aku tak peduli. “Mungkin anda berpikir hal tersebut sangatlah manis. Mulanya saya juga berpikir begitu. Tapi tahukah anda? Seiring dengan waktu, bunga tersebut cukup merepotkan saya - Bentuknya yang terlalu lembut, baunya yang terlampau menyenangkan -. Pemberian Lily tersebut bisa merusak karakter yang sengaja saya bangun. Saya tak ingin orang-orang disekitar tahu tentang hubungan saya dan Lily. Karena tentu saja hal tersebut akan cukup berbahaya bagi kami.
“Sebisa mungkin saya harus menyembunyikannya di tempat yang sangat aman. Jauh dari penglihatan orang-orang yang tak berkepentingan. Saya harus menyembunyikannya selama masa-masa sekolah, masa-masa setelah sekolah, hingga sekarang ini.”
Beberapa orang mengangguk-angguk seakan mengerti penderitaanku. “Namun, memasuki masa penuh mara bahaya yang diciptakan oleh Pangeran Kegelapan. Saya telah dipisahkan dengan Lily oleh tembok yang begitu tinggi. Tak terbayangkan betapa resah saya karena tak bisa mendampingi Lily melewatinya.
“Hal yang pertama saya lakukan setiap pagi adalah memastikan bahwa lily masih mekar, setiap siang saya berdoa lily dalam kaca tersebut terus mekar, setiap malam selama berjam-jam saya menatap pemberiannya hanya untuk meyakinkan diri bahwa bunga tersebut masih mekar. Karena itu artinya Lily masih bernapas.
“Tiga hari lalu, untuk pertama dan terakhir kalinya bunga tersebut layu. Seluruh daya hidupku seakan ikut layu. Lily meninggalkanku. Orang yang akan terus menyayanginya.”
Sialan! Aku mempermalukan diri dengan menangis di hadapan mereka. “Tak terbayangkan betapa inginnya saya agar bunga tersebut kembali mekar. Menikmati momen kubenci sekaligus kurindukan. Saya rela jika harus menukarnya dengan seluruh jiwa saya asalkan momen tersebut bisa kembali saya dapatkan.”
Aku meletakkan gelas kaca berisi sebatang bunga lily yang telah layu di atas pusaranya. “Selamat jalan, Lily...”
Aku bergegas meninggalkan kerumunan. Hadirin bertepuk tangan. Aku tak peduli. Yang aku tahu adalah Ramuan Polyjus buatanku sebentar lagi akan kehilangan khasiatnya.
[:: Hinata ::]
FIN. TAMAT. THE END
Terima kasih untuk para kontributor. :D