Disclaimer: Semua karakter dalam Harry Potter adalah milik JK Rowling. Bukan untuk kepentingan komersial. Fanfic ini hanya hiburan semata.
Rated: K-T - B.Indonesia - Drama atau Family
Awal cerita oleh: Anne
Partisipan : Ambu, Anne, Aisyah, Rury, Astrin, Winda
Penulis yang melanjutkan, harus melanjutkan dari tanda [ :: nama penulis :: ] yang ditinggalkan penulis sebelumnya.
Spinner's End, 8 Januari 2006
Debu-debu tebal masih menyelimuti perabotan di rumah Severus Snape. Sofa, lemari, meja tulis, semua ditutupi kain putih, kontras dengan kegelapan di sekelilingnya.
Cahaya bulan masuk ke dalam ruangan tidur Snape. Tidak ada tirai menutupi jendela. Hanya debu tebal keperakan yang merayakan terangnya malam. Barisan botol ramuan masih berjejer rapi di kabinet dekat perapian kamar. Hampir semuanya kosong, tidak seperti waktu ia masih bekerja di Hogwarts.
Pemandangan sendu ini sudah bosan ia lihat setiap malam. Kadang ia melihat Mr.Filch datang membersihkan tempat ini, tapi sudah seminggu ini pak tua itu sudah tidak pernah lagi. Mungkin sakit? Entahlah.
Lagipula ia hanya hantu sekarang. Hantu kesepian. Tanpa bayangan.
[ :: Anne :: ]
Rated: K-T - B.Indonesia - Drama atau Family
Awal cerita oleh: Anne
Partisipan : Ambu, Anne, Aisyah, Rury, Astrin, Winda
Penulis yang melanjutkan, harus melanjutkan dari tanda [ :: nama penulis :: ] yang ditinggalkan penulis sebelumnya.
Spinner's End, 8 Januari 2006
Debu-debu tebal masih menyelimuti perabotan di rumah Severus Snape. Sofa, lemari, meja tulis, semua ditutupi kain putih, kontras dengan kegelapan di sekelilingnya.
Cahaya bulan masuk ke dalam ruangan tidur Snape. Tidak ada tirai menutupi jendela. Hanya debu tebal keperakan yang merayakan terangnya malam. Barisan botol ramuan masih berjejer rapi di kabinet dekat perapian kamar. Hampir semuanya kosong, tidak seperti waktu ia masih bekerja di Hogwarts.
Pemandangan sendu ini sudah bosan ia lihat setiap malam. Kadang ia melihat Mr.Filch datang membersihkan tempat ini, tapi sudah seminggu ini pak tua itu sudah tidak pernah lagi. Mungkin sakit? Entahlah.
Lagipula ia hanya hantu sekarang. Hantu kesepian. Tanpa bayangan.
[ :: Anne :: ]
Sudah 1 windu ia meninggalkan jasadnya di dunia, namun tak pula ia bisa menuju kehidupan selanjutnya. Menumpuk rindu untuk bertemu dengan wanita yang ia yang sangat ingin ia jumpai. Satu-satunya wanita di hatinya baik dalam kehidupan, maupun kematian. Namun, belum juga ia bisa temui, karena ada satu hal yang belum ia tuntaskan.
[ :: Aisyah :: ]
Entah hal apa yang membuatnya tertahan tidak bisa segera bersatu dengan pujaan hatinya, bunga Lilynya. Ia sendiri pun tak tau apa gerangan. Sungguh ia penat menjadi sosok tak berjasad seperti ini.
Ditatapnya pemandangan di luar, sepertinya hari ini, hari kedelapan setelah para muggle itu merayakan tahun baru. Hei, itu berarti besok adalah hari ulang tahunnya. Tapi yang keberapa? Entahlah telah lama ia tak lagi menghitung berapa umurnya. Sejak Lily pergi meninggalkannya, ia sudah tak peduli lagi akan hal-hal remeh seperti itu. Apa lagi kini saat ia hanyalah sesosok tanpa bayangan yang kesepian.
[ :: Rury :: ]
Snape termenung dalam kegelapan , seluruh pikirannya sekarang terpusat pada lily sang pujaan hatinya , ia selalu berharap bahwa kematiannya akan bisa membawannya pada Lily, namun Sekarang apa ? Hanya dia yang terperangkap kejamnya kehidupan sihir . Snape tak ingin berlama-lama terperangkap oleh pikiran itu,Ia mulai bangkit dan dari pikiran itu dan memutuskan untuk memulai menjalankan misinya .
[ :: Winda ::]
9 Januari 2006
(di lokasi lain) Seorang pria muda bergegas memasuki lift telepon umum. Lift itu akhirnya membawanya ke atas. Untunglah tidak ada Muggle terlihat. Harry tidak pernah merasakan kalang kabut seperti ini. Pikirannya pun kalut dan sulit berkonsentrasi. Ron barusan mengirimkan perkamen, "Harry, aku dan Hermione mengantar Ginny ke St.Mungo. It's time. Mom menjaga anak-anak. Nyusul ya."
Ginny mau melahirkan! Harry bahagia tapi juga khawatir. Mudah-mudahan ia masih bisa tiba di rumah sakit tepat waktu.
--
Sudah lama ia tidak meninggalkan Spinner's End sejak kematiannya. Ia seolah terkurung di rumah itu, padahal sebenarnya ia bisa bebas bepergian. Setiap keluar dari Spinner's End membuatnya selalu takut kehilangan rumah itu dan tak bisa kembali. Karena ia tahu banyak hantu lain yang datang ke rumahnya mencari kesempatan untuk menempati rumah peninggalan orangtuanya ini.
Pagi ini ia merasa berbeda. Ini hari ulang tahunnya. Ia merasakan rindu yang amat sangat. Rindu pada Lily, rindu kehangatan keluarga. Tiba-tiba ia teringat, meski ia tidak pernah bisa lagi bertemu Lily (setidaknya belum), mungkin salah satu cara bisa dekat dengan Lily adalah mengunjungi rumah Harry Potter.
[ :: Anne ::]
Dalam sekejap ia sudah berada di depan salah satu rumah di Godric Hollow. Rumah yang dari dulu selalu ia hindari, rumah yang selalu membawa trauma, kenangan buruk.
...sepi.
Apakah keluarga Potter tinggal di sini? Apakah mereka tidak tinggal di Grimmauld Place, peninggalan keluarga Black?
Tapi ia bisa merasakan, ada jejak rasa, ada jejak tindakan sihir yang melingkupi. Keluarga Potter belum lama meninggalkan rumah ini. Mungkin dalam hitungan beberapa puluh menit.
Melayang ia memasuki rumah, melewati tembok depan. Semakin terasa jejak rasa keluarga Potter: Potter muda, gadis Weasley, dan ada jejak rasa anak kecil.
Ia berhenti di depan perapian.
Ada jejak rasa beberapa orang lain, sepertinya salah satu Weasley bersama nona Granger. Ah, tentu saja, saat ini sudah tak ada gadis Weasley atau nona Granger. Semua sudah berstatus nyonya.
Dan sepertinya--dari jejak rasa yang mereka tinggalkan, mereka pergi dalam ketergesaan!
Sepotong perkamen nampaknya terjatuh di depan perapian. Sepertinya kartu nama.
Magi-mid-wife Helen Whiteheart - St Mungo.
Bidan?
[ :: ambu :: ]
St.Mungo.
Ron dan Hermione menyambut Harry setibanya di rumah sakit. Ditemani sahabat-sahabatnya di saat genting, membuatnya merasa beruntung. Ginny sudah dipindahkan ke ruangan lain. Tangis bayi terdengar dari ruang operasi. Jantung Harry berdegup kencang.
Seorang magi-mid-wife (bidan) tampak mendekat. "Mr.Potter, istri Anda sudah menunggu, silakan ikuti saya."
Harry lega. Ternyata tadi suara bayi penyihir lainnya. Ia bergegas menuju ruang persiapan operasi. Helen Whiteheart menjelaskan proses operasi dengan cepat. Wanita keturunan Goblin ini terlihat gesit, dan cekatan. Tak lupa ia mengingatkan Harry untuk memakai jubah steril dan mencuci tangan. Ginny sudah menunggunya. Ada beberapa asisten bidan lain membantu Mrs.Whiteheart terihat sibuk mempersiapkan kelahiran bayinya.
"Harry!! (mengatur napas) James ada di The Burrow. (mengatur napas). Kau sudah makan?! (mengatur napas) . Bayi ini sepertinya sudah tidak sabar! (mengatur napas)." Ginny terlihat bersemangat. Dan cantik. Harry mengecup keningnya.
"Sabar cantik. Semua baik-baik saja. Ayo atur napasmu lagi. Kita sambut anak ini bersama-sama. "
[ :: Anne :: ]
------
Sementara itu di Godric Hollow, Severus Snape mencoba mengartikan kartu nama yang ia temukan barusan. Siapa yang melahirkan?
Severus melayang lagi, pergi menuju suatu tempat. Satu rumah lagi untuk memastikan tentang kecurigaannya. Ia melayang menuju The Burrow.
Severus masuk menembus tembok, ia melihat Molly Weasley sedang bermain bersama dua anak kecil di dekat perapian. Tanpa pikir panjang, Severus menghampirinya.
"Molly, katakan siapa yang melahirkan?"
Molly Weasley sejenak bergidik, sehembus angin dingin melewati tengkuknya. Ia merasa seperti dipanggil seseorang. Tetapi hanya ada dia dan cucu-cucunya kan dirumah ini?
Molly mengecek perapian, mungkin Arthur baru saja datang. Tetapi perapian kosong, tak ada jejak api hijau yang tersisa.
"Tetap di sini, anak-anak. Grandma akan ke sana sebentar."
Molly beranjak untuk melihat ke depan rumah, mungkin saja ada seseorang yang memanggilnya dari luar.Halaman rumah pun kosong. Tak ada siapa-siapa. Molly merinding memikirkan kemungkinan yang terjadi. Ia cepat-cepat kembali bersama cucu-cucunya. Semoga Ginny baik-baik saja, harap Molly dalam hati.
Merasa tidak dapat jawaban, hantu Severus Snape mencoba mencari keberadaan Potter lain di lantai dua. Tak ada siapa-siapa. Benar-benar hanya Molly dan anak-anak itu saja di rumah ini.
Severus Snape kembali mengingat nama yang tertera pada kartu nama yang tadi ditemukannya di Godric Hollow. Ia berpikir untuk mencari matron itu di St. Mungo. Ia melewati Molly dan anak-anak itu, melayang menuju rumah sakit. Sayup-sayup, ia mendengar kedua anak kecil itu menangis histeris.
[ :: astrin :: ]
(tarik napas) (buang) (tarik napas) (buang)
“Sedikit lagi, nyonya! Sekarang sudah bukaan 9. Janganmengedan saat belum mulas. Ingat, buang napas lewat mulut, pelan-pelan. Sekalilagi—“
(tarik napas) (buang)
“Bukaan 10—“
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”
Bersamaan dengan jeritan tertahan Ginny, pecah pula tangisan bocah mungil yang baru saja meluncur keluar dari rahim yang gelap ke dunia yangtera ng benderang.
Bidan sudah bersiap menerima bayi itu, kemudian menelungkupkannya di atas tubuh Ginny.
“Ti-tidak dibersihkan dulu, Madam?”
Bidan Helen menggeleng. Dia bertindak cepat, mengambil gunting tajam steril, menggunting tali ari-ari.
“Sekarang plasenta-nya, nyonya—“
Tepat saat Ginny merasa mulas lagi. Tapi kali ini tidak sehebat mulas yang tadi. Sekali mengedan juga, keluar semua plasentanya.
Syukurlah,” bidan Helen menerima luncuran plasenta, dan menyimpannya dalam baskom alumunium.
Sementara itu, bayi yang ditelungkupkan di atas badan Ginny, refleks maju merangkak mencari sesuatu. Mulutnya mengecap-ngecap. Dengan mata yang masih setengah tertutup, merangkak refleks, akhirnya bibir mungilnya berhasil meraih yang ia inginkan. Otomatis gerakan menyedot dilakukan.
“Ia—ia menyusu!” sahut Harry kagum.
“Harry, dulu James juga kan begini—“ sahut Ginny, sambil masih terengah.
Bidan Helen tersenyum. “Itu Inisiasi Menyusu Dini. Gerakannya refleks kan?”
Ginny mengangguk.
Bidan Helen membersihkan bekas-bekas melahirkan di tubuh Ginny dengan cepat, dan dalam satu gerakan juga membersihkan tubuh mungil bayi yang masih tetap menyusu, sekaligus membungkusnya dengan kain flanel. Bayi mungil itu menyelesaikan menyusunya yang pertama, dan tertidur di pelukan tangan kiri Ginny. Tapi tidak, ia terbangun sesaat, membuka matanya yang kecil, dan--
“Ginny—“ bisik Harry perlahan, “—matanya—“
Ginny mengangguk pelan. “Matanya persis Lily—“
Di sudut kamar bersalin, sesosok gelap yang baru saja masuk, menyusup lewat tembok, tertegun mendengar bisikan Ginny.
[ :: ambu :: ]
Snape tertegun. Ingatannya kembali ke masa lalu, ketika ia dan Lily remaja sedang rebahan di rumput, melihat awan-awan saling berkejaran di siang hari yang cerah.
"Sev, lihat awan itu, bentuknya seperti rusa kecil! Dan itu! Itu! Yang di kanan itu mirip bayi!" Lily menunjuk ke atas langit. Snape mengikuti arah telunjuk Lily yang mungil, masih terdiam.
"Hmm..kalau aku nanti punya anak, mirip siapa ya Sev, kira-kira?"
Snape menjawab, Mirip Lily pastinya. Tapi tentu saja itu hanya jawaban di dalam hati. Lagipula, siapa dia, ikut jawab pertanyaan seperti itu? Mereka tidak pacaran. Setidaknya, meski sudah sering jalan bareng, Lily tidak pernah bilang suka padanya.
"Kayaknya aku ngomong ama patung ya. Sev, jawab dong."
Snape mendengus kecil. Selalu seperti ini. Lily melempar pertanyaan yang membuat ia salah tingkah. Jawab salah, tidak dijawab salah. Membayangkan bisa pacaran dengan Lily aja sudah hampir tidak mungkin, apalagi berkhayal tentang anak Lily?
Tiba-tiba ia mendengar suara bayi. Pusaran kenangan tadi terhenti.
Suara cucu Lily. Dan kalau saja semua terjadi pada waktu dan kejadian berbeda, bisa saja itu cucunya juga. Snape menghela napas dengan sedih, lalu mendekat melihat bayi mungil yang kini sedang didekap oleh Harry.
[:: Anne ::]
Severus Snape melayang mendekati Harry yang sedang menggendong seorang bayi. Ia berusaha melihat wajah bayi mungil itu dari balik punggung Harry.
Tampan. Dan memiliki mata Lily.
Severus terus menatap bayi laki-laki itu. Ada perasaan haru di hatinya saat memperhatikan wajah lugu bayi itu. Bagi Severus, bayi itu mirip Lily, tetapi juga sekaligus mirip Harry.
"Kau akan seperti ayahmu, nak. Kau akan menjadi orang besar seperti ayahmu, Harry Potter." Ucap Severus.
"Profesor Snape?" Harry terkejut mendengar namanya dipanggil dengan lembut oleh seseorang. Ia membalikkan tubuhnya dan mencari asal suara. Tetapi nihil, tak ada sosok yang ia bayangkan. Ia yakin ia mengenali suara itu. Tidak mungkin ia salah.
Severus melayang mundur menjauhi Harry Potter. Ia takut kalau-kalau Harry mengetahui bahwa ia di sini untuk mencarinya.
Ginny yang melihat suaminya kebingungan, bertanya, "Ada apa, Harry?"
"Aku mendengar suara Profesor Snape barusan. Aku yakin ia memanggil namaku."
Potter kecil dalam dekapan Harry menangis, terusik oleh gerakan tiba-tiba ayahnya. Harry akhirnya memberikan putra kecilnya kepada healer. Ia menghampiri Ginny dengan masih setengah berharap dapat menemukan sosok Profesor Snape.
"Sudahlah sayang, kau hanya terlalu memikirkannya. Berhentilah untuk terus merasa bersalah padanya. Kau sudah berbuat banyak untuknya, Harry."
"Yah, mungkin kau benar, sayang. Aku hanya terlalu memikirkannya."
[ :: astrin :: ]
"Harry.. bukankah ini tanggal 9 Januari? Hari ulang tahunnya! Mungkin karena itu, tiba-tiba kau memikirkannya", ujar Ginny.
"Ah, tentu saja! Ini hari ulang tahunnya yang ke-46. Putra kedua kita lahir pada hari yang sama dengannya...", ucap Harry tertahan.
"Dan matanya, seperti mata Lily, wanita yang selalu di hatinya", sambung Ginny.
"Severus", mereka berseru bersama, memikirkan hal yang sama.
"Tapi, kita sudah sepakat akan memberinya nama Albus, sayang", ujar Harry ragu.
"Tambahkan Severus kalau begitu. Albus Severus Potter", lanjut Ginny.
Bayi dalam gendongan Ginny membuka matanya kembali seakan merasa dipanggil, kemudian menatap ke arah Severus Snape, seakan bisa melihatnya, lalu tersenyum. Severus Snape tertegun, Mata hijau kembali bertemu dengan mata hitam. Kemudian dua Severus saling tersenyum, hangat rasanya.
"Wow, ia tersenyum, tampaknya setuju, Harry", kata Ginny.
Harry berbisik lembut pada putranya, "Selamat datang, Albus Severus Potter. Namamu sama seperti kedua idolaku, para pelindungku. Salah satunya adalah pria yang paling berani yang pernah kutemui. Semoga kau sehebat mereka".
[:: Aisyah ::]
Ingin rasanya Snape menangis, tapi ternyata menangis sudah tidak bisa dilakukannya lagi sekarang.
Tak lama, Ginny dipindahkan ke ruang perawatan. Harry, Ron dan Hermione ada di kamar itu. Hermione membantu Ginny supaya bisa nyaman tiduran, sementara Harry dan Ron berbincang pelan.
Sebelum sempat mundur ke belakang, Harry berjalan ke arah jendela untuk melihat pemandangan dari menara St.Mungo. Masih tetap aneh rasanya membiarkan seseorang melewati tubuhnya tanpa terasa apa-apa. Seperti ini rasanya menjadi hantu, pikir Snape.
Harry berdiri menghadap jendela.
"Andai Lily ada di sini, Harry," ucapnya pada Harry. Ia berharap Harry bisa mendengarnya.
Harry terkesiap saat melihat pantulan bayangan. Ia yakin betul sempat melihat sosok Snape sekilas, tapi lalu sadar itu bayangan Ron yang malam itu memakai kemeja biru tua. Ia menutup tirai jendela, dan ngga tahu kenapa, ia berbisik, "Ya, wish she was here too."
[:: Anne ::]
Melihat gelagat Harry, Snape berusaha kembali memanggilnya dengann suara yang lebih keras, "Harry!!!"
Snape pun, berkonsentrasi, berusaha mengeluarkan semua energinya, agar ia dapat menampakkan diri. Ah, rasanya sungguh panas, dan ia hampir terjatuh ketika akhirnya Harry tampak menyadari kehadirannya, "Profesor Snape?"
"Ha.. Harry, kau bisa mendengarku? Kau bisa melihatku?", tanya Snape.
"Ya, aku bisa. Ini benar-benar Anda, Profesor? Tapi mengapa? Bukankah seharusnya Anda jalan terus"
"Aku tidak bisa melanjutkan perjalananku, Harry. Jiwaku tertinggal di bumi selama delapan tahun ini. Bahkan untuk menjadi hantu pun aku sulit. Baru kali ini aku benar-benar bisa menampakkan diriku".
"Oh, maaf Profesor. Aku tidak tahu.. Aku.. aku menyesal Profesor, aku tidak tahu apa pun tentang Anda, kebaikan Anda, usaha Anda melindungiku, dan cinta Anda pada ibuku...", Harry tak bisa lagi melanjutkan kata-katanya, ia terisak.
[:: Aisyah ::]
Snape terdiam. Ia baru sadar hanya Harry yang bisa melihatnya. Ron dan Hermione melihat ke arah Harry dengan heran. Ginny tampak terlalu lelah untuk menyadari peristiwa ini, sepertinya ia sudah tertidur.
"Ada apa? Ada apa Harry? Kau bicara dengan siapa?" Hermione mendekati Harry dengan khawatir.
Harry buru-buru menghapus airmatanya. "Hermione, Ron, kapan-kapan aku jelaskan. Bisakah kau jaga Ginny dulu? Sepertinya Snape barusan.." Harry kesulitan mencari kata yang tepat.. ".. menghubungiku."
"Snape? Di sini? Sekarang? " Ron pucat pasi. Hermione menyikutnya dengan halus.
"Take your time, Harry. Tapi, kau akan pergi ke mana?"
"Aku tidak akan kemana-mana." Harry melihat ke arah Snape yang terlihat lelah. "Tapi mungkin aku perlu waktu di kamar ini sendiri. Maksudku, sementara Ginny tertidur, aku harus bicara dengan Snape."
"Baiklah. Kami..ada di luar kamar, Harry. " Hermione bergegas menggandeng Ron yang terlihat masih bingung dan penasaran.
Snape bersyukur, kini ada waktu untuk bicara langsung pada Harry. "Terima kasih Harry. Saya juga ingin minta maaf atas perlakuanku padamu dulu. Kini aku sadar, itu hanya merugikanku sendiri, dan Lily pasti sedih..dan aku pasti mengecewakannya, karena aku dulu tidak mau berteman denganmu."
Harry hanya bisa melihat Snape dengan mata berkaca-kaca.
Snape merasa energinya mulai melemah.
"Harry, aku harus pergi. Aku tidak tahu apa bisa bertemu denganmu lagi. Kuharap hidupmu bahagia,.. salam untuk Ginny, dan bayi Albus..Terima kasih sudah mengingatku dengan menamakan anakmu dengan namaku."
"Professor.." Harry tercekat. Bayangan Snape lama-lama memudar. Menghilang. Harry merasa begitu sedih, tapi juga sangat lega. Seolah beban pikiran yang terberat terangkat karena ia dan Snape sudah saling memaafkan.
9 January 2013
"Hati-hati James, jangan kau dorong adikmu!" seru Ginny. Lilly Luna digendong di atas kepala Harry.
"Kemana kita Papa?" Lilly kecil bertanya.
Harry dan Ginny berpandangan dan tersenyum.
"Mari kita pulang." kata Harry. James dan Albus berlarian di belakang mereka. Keluarga Harry beranjak pulang.
Di belakang mereka ada nisan batu pualam besar. Tertulis di sana,
RIP. Severus Snape. 9 Januari 1960- 1 Mei 1998. A friend, a hero, a potion master.
Sekumpulan bunga Stargazer Lily tumbuh subur di dekatnya. Ginny dan Harry selalu datang untuk merawat tumbuhan itu, agar selalu menemani Snape selamanya.
-- Fin/ End ---
[ :: Aisyah :: ]
Entah hal apa yang membuatnya tertahan tidak bisa segera bersatu dengan pujaan hatinya, bunga Lilynya. Ia sendiri pun tak tau apa gerangan. Sungguh ia penat menjadi sosok tak berjasad seperti ini.
Ditatapnya pemandangan di luar, sepertinya hari ini, hari kedelapan setelah para muggle itu merayakan tahun baru. Hei, itu berarti besok adalah hari ulang tahunnya. Tapi yang keberapa? Entahlah telah lama ia tak lagi menghitung berapa umurnya. Sejak Lily pergi meninggalkannya, ia sudah tak peduli lagi akan hal-hal remeh seperti itu. Apa lagi kini saat ia hanyalah sesosok tanpa bayangan yang kesepian.
[ :: Rury :: ]
Snape termenung dalam kegelapan , seluruh pikirannya sekarang terpusat pada lily sang pujaan hatinya , ia selalu berharap bahwa kematiannya akan bisa membawannya pada Lily, namun Sekarang apa ? Hanya dia yang terperangkap kejamnya kehidupan sihir . Snape tak ingin berlama-lama terperangkap oleh pikiran itu,Ia mulai bangkit dan dari pikiran itu dan memutuskan untuk memulai menjalankan misinya .
[ :: Winda ::]
9 Januari 2006
(di lokasi lain) Seorang pria muda bergegas memasuki lift telepon umum. Lift itu akhirnya membawanya ke atas. Untunglah tidak ada Muggle terlihat. Harry tidak pernah merasakan kalang kabut seperti ini. Pikirannya pun kalut dan sulit berkonsentrasi. Ron barusan mengirimkan perkamen, "Harry, aku dan Hermione mengantar Ginny ke St.Mungo. It's time. Mom menjaga anak-anak. Nyusul ya."
Ginny mau melahirkan! Harry bahagia tapi juga khawatir. Mudah-mudahan ia masih bisa tiba di rumah sakit tepat waktu.
--
Sudah lama ia tidak meninggalkan Spinner's End sejak kematiannya. Ia seolah terkurung di rumah itu, padahal sebenarnya ia bisa bebas bepergian. Setiap keluar dari Spinner's End membuatnya selalu takut kehilangan rumah itu dan tak bisa kembali. Karena ia tahu banyak hantu lain yang datang ke rumahnya mencari kesempatan untuk menempati rumah peninggalan orangtuanya ini.
Pagi ini ia merasa berbeda. Ini hari ulang tahunnya. Ia merasakan rindu yang amat sangat. Rindu pada Lily, rindu kehangatan keluarga. Tiba-tiba ia teringat, meski ia tidak pernah bisa lagi bertemu Lily (setidaknya belum), mungkin salah satu cara bisa dekat dengan Lily adalah mengunjungi rumah Harry Potter.
[ :: Anne ::]
Dalam sekejap ia sudah berada di depan salah satu rumah di Godric Hollow. Rumah yang dari dulu selalu ia hindari, rumah yang selalu membawa trauma, kenangan buruk.
...sepi.
Apakah keluarga Potter tinggal di sini? Apakah mereka tidak tinggal di Grimmauld Place, peninggalan keluarga Black?
Tapi ia bisa merasakan, ada jejak rasa, ada jejak tindakan sihir yang melingkupi. Keluarga Potter belum lama meninggalkan rumah ini. Mungkin dalam hitungan beberapa puluh menit.
Melayang ia memasuki rumah, melewati tembok depan. Semakin terasa jejak rasa keluarga Potter: Potter muda, gadis Weasley, dan ada jejak rasa anak kecil.
Ia berhenti di depan perapian.
Ada jejak rasa beberapa orang lain, sepertinya salah satu Weasley bersama nona Granger. Ah, tentu saja, saat ini sudah tak ada gadis Weasley atau nona Granger. Semua sudah berstatus nyonya.
Dan sepertinya--dari jejak rasa yang mereka tinggalkan, mereka pergi dalam ketergesaan!
Sepotong perkamen nampaknya terjatuh di depan perapian. Sepertinya kartu nama.
Magi-mid-wife Helen Whiteheart - St Mungo.
Bidan?
[ :: ambu :: ]
St.Mungo.
Ron dan Hermione menyambut Harry setibanya di rumah sakit. Ditemani sahabat-sahabatnya di saat genting, membuatnya merasa beruntung. Ginny sudah dipindahkan ke ruangan lain. Tangis bayi terdengar dari ruang operasi. Jantung Harry berdegup kencang.
Seorang magi-mid-wife (bidan) tampak mendekat. "Mr.Potter, istri Anda sudah menunggu, silakan ikuti saya."
Harry lega. Ternyata tadi suara bayi penyihir lainnya. Ia bergegas menuju ruang persiapan operasi. Helen Whiteheart menjelaskan proses operasi dengan cepat. Wanita keturunan Goblin ini terlihat gesit, dan cekatan. Tak lupa ia mengingatkan Harry untuk memakai jubah steril dan mencuci tangan. Ginny sudah menunggunya. Ada beberapa asisten bidan lain membantu Mrs.Whiteheart terihat sibuk mempersiapkan kelahiran bayinya.
"Harry!! (mengatur napas) James ada di The Burrow. (mengatur napas). Kau sudah makan?! (mengatur napas) . Bayi ini sepertinya sudah tidak sabar! (mengatur napas)." Ginny terlihat bersemangat. Dan cantik. Harry mengecup keningnya.
"Sabar cantik. Semua baik-baik saja. Ayo atur napasmu lagi. Kita sambut anak ini bersama-sama. "
[ :: Anne :: ]
------
Sementara itu di Godric Hollow, Severus Snape mencoba mengartikan kartu nama yang ia temukan barusan. Siapa yang melahirkan?
Severus melayang lagi, pergi menuju suatu tempat. Satu rumah lagi untuk memastikan tentang kecurigaannya. Ia melayang menuju The Burrow.
Severus masuk menembus tembok, ia melihat Molly Weasley sedang bermain bersama dua anak kecil di dekat perapian. Tanpa pikir panjang, Severus menghampirinya.
"Molly, katakan siapa yang melahirkan?"
Molly Weasley sejenak bergidik, sehembus angin dingin melewati tengkuknya. Ia merasa seperti dipanggil seseorang. Tetapi hanya ada dia dan cucu-cucunya kan dirumah ini?
Molly mengecek perapian, mungkin Arthur baru saja datang. Tetapi perapian kosong, tak ada jejak api hijau yang tersisa.
"Tetap di sini, anak-anak. Grandma akan ke sana sebentar."
Molly beranjak untuk melihat ke depan rumah, mungkin saja ada seseorang yang memanggilnya dari luar.Halaman rumah pun kosong. Tak ada siapa-siapa. Molly merinding memikirkan kemungkinan yang terjadi. Ia cepat-cepat kembali bersama cucu-cucunya. Semoga Ginny baik-baik saja, harap Molly dalam hati.
Merasa tidak dapat jawaban, hantu Severus Snape mencoba mencari keberadaan Potter lain di lantai dua. Tak ada siapa-siapa. Benar-benar hanya Molly dan anak-anak itu saja di rumah ini.
Severus Snape kembali mengingat nama yang tertera pada kartu nama yang tadi ditemukannya di Godric Hollow. Ia berpikir untuk mencari matron itu di St. Mungo. Ia melewati Molly dan anak-anak itu, melayang menuju rumah sakit. Sayup-sayup, ia mendengar kedua anak kecil itu menangis histeris.
[ :: astrin :: ]
(tarik napas) (buang) (tarik napas) (buang)
“Sedikit lagi, nyonya! Sekarang sudah bukaan 9. Janganmengedan saat belum mulas. Ingat, buang napas lewat mulut, pelan-pelan. Sekalilagi—“
(tarik napas) (buang)
“Bukaan 10—“
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa!”
Bersamaan dengan jeritan tertahan Ginny, pecah pula tangisan bocah mungil yang baru saja meluncur keluar dari rahim yang gelap ke dunia yangtera ng benderang.
Bidan sudah bersiap menerima bayi itu, kemudian menelungkupkannya di atas tubuh Ginny.
“Ti-tidak dibersihkan dulu, Madam?”
Bidan Helen menggeleng. Dia bertindak cepat, mengambil gunting tajam steril, menggunting tali ari-ari.
“Sekarang plasenta-nya, nyonya—“
Tepat saat Ginny merasa mulas lagi. Tapi kali ini tidak sehebat mulas yang tadi. Sekali mengedan juga, keluar semua plasentanya.
Syukurlah,” bidan Helen menerima luncuran plasenta, dan menyimpannya dalam baskom alumunium.
Sementara itu, bayi yang ditelungkupkan di atas badan Ginny, refleks maju merangkak mencari sesuatu. Mulutnya mengecap-ngecap. Dengan mata yang masih setengah tertutup, merangkak refleks, akhirnya bibir mungilnya berhasil meraih yang ia inginkan. Otomatis gerakan menyedot dilakukan.
“Ia—ia menyusu!” sahut Harry kagum.
“Harry, dulu James juga kan begini—“ sahut Ginny, sambil masih terengah.
Bidan Helen tersenyum. “Itu Inisiasi Menyusu Dini. Gerakannya refleks kan?”
Ginny mengangguk.
Bidan Helen membersihkan bekas-bekas melahirkan di tubuh Ginny dengan cepat, dan dalam satu gerakan juga membersihkan tubuh mungil bayi yang masih tetap menyusu, sekaligus membungkusnya dengan kain flanel. Bayi mungil itu menyelesaikan menyusunya yang pertama, dan tertidur di pelukan tangan kiri Ginny. Tapi tidak, ia terbangun sesaat, membuka matanya yang kecil, dan--
“Ginny—“ bisik Harry perlahan, “—matanya—“
Ginny mengangguk pelan. “Matanya persis Lily—“
Di sudut kamar bersalin, sesosok gelap yang baru saja masuk, menyusup lewat tembok, tertegun mendengar bisikan Ginny.
[ :: ambu :: ]
Snape tertegun. Ingatannya kembali ke masa lalu, ketika ia dan Lily remaja sedang rebahan di rumput, melihat awan-awan saling berkejaran di siang hari yang cerah.
"Sev, lihat awan itu, bentuknya seperti rusa kecil! Dan itu! Itu! Yang di kanan itu mirip bayi!" Lily menunjuk ke atas langit. Snape mengikuti arah telunjuk Lily yang mungil, masih terdiam.
"Hmm..kalau aku nanti punya anak, mirip siapa ya Sev, kira-kira?"
Snape menjawab, Mirip Lily pastinya. Tapi tentu saja itu hanya jawaban di dalam hati. Lagipula, siapa dia, ikut jawab pertanyaan seperti itu? Mereka tidak pacaran. Setidaknya, meski sudah sering jalan bareng, Lily tidak pernah bilang suka padanya.
"Kayaknya aku ngomong ama patung ya. Sev, jawab dong."
Snape mendengus kecil. Selalu seperti ini. Lily melempar pertanyaan yang membuat ia salah tingkah. Jawab salah, tidak dijawab salah. Membayangkan bisa pacaran dengan Lily aja sudah hampir tidak mungkin, apalagi berkhayal tentang anak Lily?
Tiba-tiba ia mendengar suara bayi. Pusaran kenangan tadi terhenti.
Suara cucu Lily. Dan kalau saja semua terjadi pada waktu dan kejadian berbeda, bisa saja itu cucunya juga. Snape menghela napas dengan sedih, lalu mendekat melihat bayi mungil yang kini sedang didekap oleh Harry.
[:: Anne ::]
Severus Snape melayang mendekati Harry yang sedang menggendong seorang bayi. Ia berusaha melihat wajah bayi mungil itu dari balik punggung Harry.
Tampan. Dan memiliki mata Lily.
Severus terus menatap bayi laki-laki itu. Ada perasaan haru di hatinya saat memperhatikan wajah lugu bayi itu. Bagi Severus, bayi itu mirip Lily, tetapi juga sekaligus mirip Harry.
"Kau akan seperti ayahmu, nak. Kau akan menjadi orang besar seperti ayahmu, Harry Potter." Ucap Severus.
"Profesor Snape?" Harry terkejut mendengar namanya dipanggil dengan lembut oleh seseorang. Ia membalikkan tubuhnya dan mencari asal suara. Tetapi nihil, tak ada sosok yang ia bayangkan. Ia yakin ia mengenali suara itu. Tidak mungkin ia salah.
Severus melayang mundur menjauhi Harry Potter. Ia takut kalau-kalau Harry mengetahui bahwa ia di sini untuk mencarinya.
Ginny yang melihat suaminya kebingungan, bertanya, "Ada apa, Harry?"
"Aku mendengar suara Profesor Snape barusan. Aku yakin ia memanggil namaku."
Potter kecil dalam dekapan Harry menangis, terusik oleh gerakan tiba-tiba ayahnya. Harry akhirnya memberikan putra kecilnya kepada healer. Ia menghampiri Ginny dengan masih setengah berharap dapat menemukan sosok Profesor Snape.
"Sudahlah sayang, kau hanya terlalu memikirkannya. Berhentilah untuk terus merasa bersalah padanya. Kau sudah berbuat banyak untuknya, Harry."
"Yah, mungkin kau benar, sayang. Aku hanya terlalu memikirkannya."
[ :: astrin :: ]
"Harry.. bukankah ini tanggal 9 Januari? Hari ulang tahunnya! Mungkin karena itu, tiba-tiba kau memikirkannya", ujar Ginny.
"Ah, tentu saja! Ini hari ulang tahunnya yang ke-46. Putra kedua kita lahir pada hari yang sama dengannya...", ucap Harry tertahan.
"Dan matanya, seperti mata Lily, wanita yang selalu di hatinya", sambung Ginny.
"Severus", mereka berseru bersama, memikirkan hal yang sama.
"Tapi, kita sudah sepakat akan memberinya nama Albus, sayang", ujar Harry ragu.
"Tambahkan Severus kalau begitu. Albus Severus Potter", lanjut Ginny.
Bayi dalam gendongan Ginny membuka matanya kembali seakan merasa dipanggil, kemudian menatap ke arah Severus Snape, seakan bisa melihatnya, lalu tersenyum. Severus Snape tertegun, Mata hijau kembali bertemu dengan mata hitam. Kemudian dua Severus saling tersenyum, hangat rasanya.
"Wow, ia tersenyum, tampaknya setuju, Harry", kata Ginny.
Harry berbisik lembut pada putranya, "Selamat datang, Albus Severus Potter. Namamu sama seperti kedua idolaku, para pelindungku. Salah satunya adalah pria yang paling berani yang pernah kutemui. Semoga kau sehebat mereka".
[:: Aisyah ::]
Ingin rasanya Snape menangis, tapi ternyata menangis sudah tidak bisa dilakukannya lagi sekarang.
Tak lama, Ginny dipindahkan ke ruang perawatan. Harry, Ron dan Hermione ada di kamar itu. Hermione membantu Ginny supaya bisa nyaman tiduran, sementara Harry dan Ron berbincang pelan.
Sebelum sempat mundur ke belakang, Harry berjalan ke arah jendela untuk melihat pemandangan dari menara St.Mungo. Masih tetap aneh rasanya membiarkan seseorang melewati tubuhnya tanpa terasa apa-apa. Seperti ini rasanya menjadi hantu, pikir Snape.
Harry berdiri menghadap jendela.
"Andai Lily ada di sini, Harry," ucapnya pada Harry. Ia berharap Harry bisa mendengarnya.
Harry terkesiap saat melihat pantulan bayangan. Ia yakin betul sempat melihat sosok Snape sekilas, tapi lalu sadar itu bayangan Ron yang malam itu memakai kemeja biru tua. Ia menutup tirai jendela, dan ngga tahu kenapa, ia berbisik, "Ya, wish she was here too."
[:: Anne ::]
Melihat gelagat Harry, Snape berusaha kembali memanggilnya dengann suara yang lebih keras, "Harry!!!"
Snape pun, berkonsentrasi, berusaha mengeluarkan semua energinya, agar ia dapat menampakkan diri. Ah, rasanya sungguh panas, dan ia hampir terjatuh ketika akhirnya Harry tampak menyadari kehadirannya, "Profesor Snape?"
"Ha.. Harry, kau bisa mendengarku? Kau bisa melihatku?", tanya Snape.
"Ya, aku bisa. Ini benar-benar Anda, Profesor? Tapi mengapa? Bukankah seharusnya Anda jalan terus"
"Aku tidak bisa melanjutkan perjalananku, Harry. Jiwaku tertinggal di bumi selama delapan tahun ini. Bahkan untuk menjadi hantu pun aku sulit. Baru kali ini aku benar-benar bisa menampakkan diriku".
"Oh, maaf Profesor. Aku tidak tahu.. Aku.. aku menyesal Profesor, aku tidak tahu apa pun tentang Anda, kebaikan Anda, usaha Anda melindungiku, dan cinta Anda pada ibuku...", Harry tak bisa lagi melanjutkan kata-katanya, ia terisak.
[:: Aisyah ::]
Snape terdiam. Ia baru sadar hanya Harry yang bisa melihatnya. Ron dan Hermione melihat ke arah Harry dengan heran. Ginny tampak terlalu lelah untuk menyadari peristiwa ini, sepertinya ia sudah tertidur.
"Ada apa? Ada apa Harry? Kau bicara dengan siapa?" Hermione mendekati Harry dengan khawatir.
Harry buru-buru menghapus airmatanya. "Hermione, Ron, kapan-kapan aku jelaskan. Bisakah kau jaga Ginny dulu? Sepertinya Snape barusan.." Harry kesulitan mencari kata yang tepat.. ".. menghubungiku."
"Snape? Di sini? Sekarang? " Ron pucat pasi. Hermione menyikutnya dengan halus.
"Take your time, Harry. Tapi, kau akan pergi ke mana?"
"Aku tidak akan kemana-mana." Harry melihat ke arah Snape yang terlihat lelah. "Tapi mungkin aku perlu waktu di kamar ini sendiri. Maksudku, sementara Ginny tertidur, aku harus bicara dengan Snape."
"Baiklah. Kami..ada di luar kamar, Harry. " Hermione bergegas menggandeng Ron yang terlihat masih bingung dan penasaran.
Snape bersyukur, kini ada waktu untuk bicara langsung pada Harry. "Terima kasih Harry. Saya juga ingin minta maaf atas perlakuanku padamu dulu. Kini aku sadar, itu hanya merugikanku sendiri, dan Lily pasti sedih..dan aku pasti mengecewakannya, karena aku dulu tidak mau berteman denganmu."
Harry hanya bisa melihat Snape dengan mata berkaca-kaca.
Snape merasa energinya mulai melemah.
"Harry, aku harus pergi. Aku tidak tahu apa bisa bertemu denganmu lagi. Kuharap hidupmu bahagia,.. salam untuk Ginny, dan bayi Albus..Terima kasih sudah mengingatku dengan menamakan anakmu dengan namaku."
"Professor.." Harry tercekat. Bayangan Snape lama-lama memudar. Menghilang. Harry merasa begitu sedih, tapi juga sangat lega. Seolah beban pikiran yang terberat terangkat karena ia dan Snape sudah saling memaafkan.
9 January 2013
"Hati-hati James, jangan kau dorong adikmu!" seru Ginny. Lilly Luna digendong di atas kepala Harry.
"Kemana kita Papa?" Lilly kecil bertanya.
Harry dan Ginny berpandangan dan tersenyum.
"Mari kita pulang." kata Harry. James dan Albus berlarian di belakang mereka. Keluarga Harry beranjak pulang.
Di belakang mereka ada nisan batu pualam besar. Tertulis di sana,
RIP. Severus Snape. 9 Januari 1960- 1 Mei 1998. A friend, a hero, a potion master.
Sekumpulan bunga Stargazer Lily tumbuh subur di dekatnya. Ginny dan Harry selalu datang untuk merawat tumbuhan itu, agar selalu menemani Snape selamanya.
-- Fin/ End ---